Selasa, 23 Februari 2010

Kisah Sang Gula Merah

Hampir satu tahun yang lalu sewaktu aku masih kelas XI IPA SMA. Usai jam sekolah Eka –sebangkuku – dengan terburu–buru mencegat langkahku yang ingin pulang ke pondok untu memberikan secarik kertas kecil kepadaku. Kubuka pelan-pelan kertas itu, isinya adalah ajakan untuk bergabung dalam sebuah lomba proyek “ Konservasi Gula Merah “ bersama Ibu Mus’idah, Ummul Corn dan teman-teman yang lain. Sepanjang perjalanan pulang aku terus berfikir, entah apa ?. Aku berfikir semua yang berkaitan dengan yang namanya proyek. Keesokan harinya kita disuruh berkumpul. Barulah aku mengerti bahwa ini bukanlah proyek main-main. Bisa dilang proyek besar untuk ukurang orang sepertiku. Karena hasil dari proyek ini harus dapat dipertanggung jawabkan pada lomba School Climate Challenge (SCC). Seenarnya tak cuma tim gula merah –sebutan untuk tim kami- yang perlombaan ini. Ada tiga tim dari sekolahku. Tim sampah plastik yang dibimbing oleh K. Mushthafa S.fil. Tim pupuk jerami yang dibimbing oleh bapak Mahmudi S.sos dan Ibu Bekti utami S.t dan Tim kami sendiri yaitu gula merah yang dibiming oleh Bapak Syaiful S.ag dan Ibu Mus’idah Amin S.pdi.
Yang membuatku tertarik waktu itu dan tetap berkesan sampai saat ini bukan lantaran perlombaannya. Melainkan indahnya perjuangan dan kebersamaan yang sangat indah. Penguatan kapasitas, pendalaman, sosialisasi, riset data sampai pembuatan laporan sambil sesekali nonton bareng dan makan bersama bagiku seperti sebaris puisi. Dengan mereka aku mengenal perjuangan, semangat persahabatan dan yang paling penting tentang wawasan lingkungan. Kebetulan aku berasal dari daerah penghasil gula merah. Kecamatan Dungkek dan bagian timur Kecamatan Batang-Batang. Di desaku setiap kepala keluarga bisa memiliki 10-11 batang pohon Siwalan –pohon penghasil air nira- yang setiap batangnya bisa diambil air niranya setiap hari. Namun di tengah polemik zaman yang sudah makin renta ini potensi-potensi lokal seperti gula merah sudah seperti tamu tak dihargai. Keberadaannya hanya dimanfaatan untuk hal-hal kecil saja. Padahal berpotensi menghasilkan sesuatu yang besar seandainya di kelola dengan lebih kreatif dan variatif.
Pekerjaan mengolah gula merah adalah pekerjaan yang sederhana dan unik tapi membutuhkan kesabaran yang tinggi. Pekerjaan yang melibatkan seluruh komponen keluarga, jadi terkesan harmonis dan kompak. Pagi hari atau sore hari –tergantung kebiasaan mengambilnya- seorang laki-laki biasanya kepala keluarga dengan berbekal tali dari lilitan ban bekas (baca : salampar), dan sebuah anyaman dari daun siwalan (baca : timba) dengan gagah dan cekatan menaiki pohon siwalan yang tingginya bisa mencapai m. Dirumah si Ibu mencari kayu bakar dan menyiapakan alat-alat memasak seperti panci ukuran jumbo dan ulekan yang juga terbuat dari batang daun siwalan. Setelah si apak turun dari phon siwalan dengan air niranya si Ibu menyambutnya lalu dengan di temani asap yang mengepul si Ibu memasak sekitar lima jam kalau air niranya banyak sampai sap di cetak. Seorang anak biasanya membantu menyiaoakan cetakan menjualnya kepada pengepul –juragan gula merah-. Dan yang tidak oleh terlupakan adalah campuran Laro –tumbukan daun jamu minte dan irisan batangnya agar kualitas gula lebih bagus.
Yang menjadi masalah, selama ini aku melihat hasil yang di peroleh oleh pengolah gula merah ternyata tak mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Tentu saja itu tidak sebanding dengan perjuangan mereka. Karena pekerjaan mengolah gula merah bukanlah pekerjaan yang mudah. Mulai dari mengambil air nira sampai memasaknya butuh mental yang kuat dan kesabaran yang tinggi.
Aku dan teman Tim Gula Merahbermimpi dan berharap dapat memberi solusi kepada mereka, menunjukkan jalan yang lebih luas dan membuka mata mereka lebar-lebar akan potensi lokal –gula merah- agar mereka dapat meningkatkan kualitasnya dan lebih kreatif, variatif dan inovatif dalam mengolahnya. Sehingga gula merah lebih dihargai dan dimanfaatkan lebih baik. Sehingga dapat mengangkat keadaan ekonomi mereka yang terpuruk. Supaya kemiskinan dan kemelaratan yang sering menghantui dapat sedikit teratasi dengan potensi lokal yang mereka miliki sendiri. Sekaligus sebagai ucapan rasa syukur terhadap karunia tuhan burupa ciptaannya yang berguna dan bermanfaat. Serta sebagai salah satu upaya penyelamatan alam agar pohon siwalan tetap bertahan di tengah maraknya penebangan-penebangan liar yang dapat menyebabkan penggundulan dan erosi tanah. Sehingga bencana alam yang sering bertamu ke bumi dapat kita atasi. Dan setidaknya dapat menjadi pendingin panasnya arus global warming yang sudah menyerang belahan dunia selama ini.
Jika manyarakat mulai berfikir bahwa potensi pohon siwalan semakin meningkat maka mereka akan berlomba-lomba menanam dan memeliharanya sehingga dapat menghambat longsor dan penggundulan. Sebaliknya jika mereka berfikir pohon siwalan tidak lagi memiliki potensi optimal maka mereka dengan acuh tak acuh akan mulai menjauhinya, menjualnya dan menebangnya untuk bangunan dan tidak menanamnya kembali. Dan mulai mencari pekerjaan lain yang lebih cepat menghasilkan uang dan itu akan menyebabkan pohon siwalan tidak akan lestari lagi. Oleh karena itu marilah bersama-sama bergandeng tangan berjuang menyelamatkan alam.