Minggu, 05 Mei 2013

Puisi-Puisi Nurul Ilmi El-Banna Minggu Pagi (KR) pada minggu IV Januari 2013



Sepanjang Malioboro

Malioboro menumpahkan kepulan asap knalpot
Ketika pagi kehilangan usia
Berganti siang yang bising luar biasa
Orang-orang tergesa memburu nafas di dada kota tua
Kendaraan mengejar bau aspal
Berlari, melesat bagai kilat
Kita menikmati semangkok bakso
Lalu mengukur nol kilometer
dan mengabadikan secarik foto

Malioboro, mengundang lebam rindu pada kampung halaman
Yang lekat di antara sudut ingatan

Yogyakarta, 05 Januari 2013

Merindu Tanah Kelahiran

Mulai akrab keramaian kota
Seakan aku lupa kemana tempat kembali paling teduh
tanpa polusi dan debu
Hanya wajah Ibu kiblat abadi
tempat kepulangan selalu tertunda
Sum-sum tulangmu mungkin mulai membungkuk
Tanda rindu yang tersimpan mengering
Rambutmu pun nanti akan memutih
Seperti rinduku yang kian terperangkap disini
Di tanah setapak tempat Ibu menunggu
Dulu  kelahian menyiarahi tubuh mungilku
Dan kelak  kematian menjemput ragaku
Kota kecil yang teramat kecil
Tempat rinduku sering meluap-luap mengalir
Kota yang tak akan berlari meski kutinggal pergi
seribu tahun lagi
Menantiku kambali menziarahi mimpi

Yogyakarta,13 Desember 2012

Madura-Yogya

Dari hulu pedesaan
Saat pagi masih sering menyajikan kicau burung
Dari luka yang menggaris langkah
dari gerimis air mata
Lewat suramadu yang memanjangkan langkah
Bus melaju membawaku menuju Yogya
Tempat sajak terlahir, penyair melelehkan keringat usaha
di hilir jalan-jalan panjang

“jangan pulang sebelum jadi penyair beneran” pesan Ibu,
Menyisipkan madah do’a di balik bajuku

Yogyakarta, 2012

Kampungku

Bangau-bangau menjulurkan paruh ke ujung cakrawala
Awan sirus menjadi petanda orang-orang desa turun ke sawah
Kampungku, dimana pasir putih membingkai jalanan
tempat gelombang menciumi bibir pantai di tepian
Kampungku rahim nelayan
tempat bapak melahirkan ikan-ikan dari keringat lautan
Sedang Ibu membuat rupiah dari hasil pertanian
Kampungku, tempat orang-orang bermata kesederhanaan
Mencipta kebenaran dari pitutur nenek moyang
Rumahku, gubuk ilalang
menghangatkan tubuh waktu hujan
Menyapih keringat dari terik matahari siang
Disini, matahari datang lebih awal
dan selalu terlambat pulang ke arah petang
Sedang rembulan tak jemu menemani
mengecap gelap malam bersama debur gelombang
Kampungku Batang-Batang*
masa kecilku memburu kerang di pantai Lombang*

Yogyakarta, 16 Januari 2013

*Batang-Batang : Salah satu kecamatan di Sumenep, Madura
*Pantai Lombang: Pantai di Batang-Batang


Lelaki Bertubuh Gelombang

Ototnya melipat-lipat tanda kuat, kulit tubuh hitam mengkilat
Dilapisi debur gelombang; lebih gagah dari elang
Hidup berkawan ombak, meminang lautan jadi istri
Mengajar jaring supaya pandai merayu ikan-ikan
Rumahnya beratap langit, tidur di biduk kecil bernama sampan
Lelaki tua, menjadi penunggu lautan; sudah berhari-hari tak pulang
Orang-orang memanggilnya nelayan
Saat siang, ia menjarah ikan. Tangannya kekar bagai pedang
menghancurkan batu karang
Kadangkala topan datang, tapi maut selalu takluk
kembali pulang kedasar laut
Bila tiba saatnya pulang ke daratan, ikan menyertai sambil berlagu
Menuju anak istri yang menunggu beserta rindu

Yogyakarta, 21 Januari 2013

Batas Jakarta dan Derita
Bila musim hujan bertandang, petani-petani girang
Tapi warga jakarta berang, sebab hujan adalah pertanda
banjir akan segera datang
Batas jakarta dan derita hanya pada tirus hujan
Yang sanggup menenggelamkan gedung-gedungnya ke bawah alam
Jakarta akan tenggelam; kabar di koran
Jakarta akan mati; menanggung dosa-dosa ekologi
hasil investasi racun polusi
Nyawa jadi tumbal, ribuan orang mengungsi dan terisolasi
Anak-anak menggantung angan di batas ruang
Ruang yang sudah hanyut ke arah laut
Muarakarang melempar gelap pemadaman hingga buta
Jakarta yang gemulai dengan macet; saluran airnya kini mampet
Bundaran HI yang tak pernah sepi
sunyi dan patungnya menggigil di patuk kaki hujan
Kota yang tak pernah tidur kini lelap berbantal senyap        
Jakarta Ibu kota derita

Yogyakarta, 21 Januari 2013