Selasa, 25 Mei 2010

Sepotong Cerita Tentang Malam

aku ingin bergegas
menemui malam yang sunyi
untuk sekedar berbagi tentang dukaku
aku berlari
melalui bukit
menyusuri semak-semak keangkuhan
yang membentangkan perbedaan
bintang sepertinya tak rela malamnya ku rengkuh
tapi aku pura-pura tak tahu
biarkan saja ia mengadu pada rembulan

Guluk-Guluk, Februari 2010


Puisi Hidup

Seandainya aku adalah bagian dari bintang-bintang yang berkedip-kedip dengan digdaya sepeti cahaya lilin yang dikelilingi perak-perak keemasan. Aku pasti bisa tersenyum dengan puas, dan tertawa dalam malam-malamku yang indah. Atau jika seandainya aku berkawan dengan angin. Aku jamin, aku akan bebas kemana saja. Menerpa dan membuai semua hal dalam berbagai keadaan.


Tapi sayangnya aku termasuk bagian dari manusia yang terkadang emosi, terkadang rendah hati dan terkadang bisa saja membanggakan diri. Aku bagian dari manusia-manusia tolol yang kehabisan nyali untuk muwujudkan mimpi. Walaupun begitu, aku tak berani menyesali semua ini karna aku tahu kalaupun aku menyesal Tuhan tidak mungkin merubah semuanya dengan secepat ini

Dan karena aku adalah bagian dari manusia maka berangan-angan dan bermimpi adalah hal yang paling menyenangkan, bahkan seandainya semua kenangan bisa terjadi dalam kenyataan aku mau bermimpi selamanya. Aku mau hidup dalam imajinasi yang indah agar semua yang aku harapkan bisa aku dapatkan dengan mudah. Tapi kenapa bermimpi hanya membuatku semakin gila.

Mungkin aku terlalu banyak menuntut kepada Tuhan. Aku menginginkan kebahagiaan, kedigdayaan, kekayaan, dan kesempurnaan, yang akhirnya hanya membawaku berangan-angan panjang dan tentu saja membingungkan. Tapi seperti yang tadi aku bilang kawan !, namanya juga manusia. Berangan-angan dan bermimpi tetap saja menjadi rutinitas yang paling mudah setiap hari, sekaligus paling menyiksa perasaan. Dan salah satu hal yang paling menyiksa adalah merenungi nasib dan kehidupanku.

Aku pernah mendengar bahwa kehidupan itu seperti operet dan sandiwara. Penuh kebohongan. Semuanya dibalut oleh topeng-topeng kemunafikan dan tentu saja selalu penuh imajinasi. Ah ! kenapa hidup tidak seperti bintang. Seorang teman juga pernah bilang. Hidup itu seperti lelucon, plesetan dan semacamnya yang tabu dan sama sekali tak ada habisnya dipertontonkan.

Setelah aku pikir-pikir hidup mungkin hidup itu laksana puisi. Iramanya adalah kesedihan dan kebahagiaan. Ritmenya pilu dan senyuman. Diksinya harapan dan kenyataan. Hidup adalah puisi paling fenomenal dimana penulisnya adalah Tuhan dan diciptakan dalam imajinasi besar yang tak seorangpun dapat memprediksikannya. Ia tertulis dalam lembaran-lembaran suci dengan tinta kebesaran-Nya yang tidak mungkin rusak sampai kapanpun. Puisi itu ditempatkan di singgasana tertinggi milikNya. Di Laukhul Makhfud sana. Dan Tuhan menciptakan sebagian dari puisi-Nya dengan kecerdasan dan keagungan. Tetapi mungkin saja aku adalah bagian dari manusia yang tidak di harapkan karena kebodohan yang terus bercokol dalam diriku.

Berkaitan dengan puisi yang tuhan gariskan sayangnya iramaku selalu saja sedih. Ritmeku tak pernah tersenyum. Dan diksi yang aku alami selalu terpaut pada kenyataan yang menyedihkan. Bahkan semua puisi hidupku bertaburan tak menentu. Tak ada yang berbaik hati mau menyimpan atau untuk sekedar membacanya. Karena mungkin saja tak ada yang istimewa dari puisi kehidupanku. Biarlah semuanya berjalan seperti apa yang telah tuhan tuliskan di sana. Dan semoga saja semuanya lebih baik dari apa yang aku bayangkan saat ini.





Batang-Batang, Oktober 2009