Masih hangat
dalam ingatan kita pada peristiwa pembunuhan Aryono Linggotu, seorang wartawan
harian metro manado pada November 2012 oleh orang tak dikenal. Pada tahun yang
sama International News Safety Institute (INSI) mengeluarkan hasil riset berjudul Killing The Messenger tentang beberapa negara paling berbahaya bagi
seorang Jurnalis. Yang mencengangkan, ternyata Indonesia masuk pada urutan ke 4
setelah Syiria, Nigeria, dan Brasil. Pada periode Januari-Juni 2012 setidaknya ada 6 Jurnalis Indonesia dibunuh saat bertugas.
Kalau sejenak melihat sejarah Jurnalis pada masa lalu, kekerasan, penyikasaan, bahkan kematian pada Jurnalis memang bukanlah hal yang asing lagi. Salah
satunya mungkin masih membekas di ingatan masyarakat, misalnya kematian Fuad
Muhammad Syafruddin seorang wartawan Harian Bernas Yogyakarta karena di aniaya
pada Agustus 1996 silam. Juga penyanderaan terhadap wartawan RCTI Ersa Siregar
dan Ferry Santoro pada 2003 oleh GAM (Gerakan Aceh
Merdeka) di Aceh Timur.
Mengapa kemudian profesi Jurnalis
begitu menjanjikan kematian?.
Kebenaran
Jurnalisme
Prinsip dasar jurnalisme seperti
yang ditulis Bill Kovach dalam The Elements Of Journalism adalah pada
kebenaran. Informasi yang ditulis seorang jurnalis adalah fakta yang objektif
bukan sekadar kebenaran filosofis ataupun akurasi belaka. Prinsip jurnalisme
itu sejalan dengan tujuan utama jurnalisme yang menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah “menyediakan
informasi yang dibutuhkan warga agar bisa hidup merdeka dan mengatur diri
sendiri”.
Untuk mencari kebenaran, Andreas
Harsono dalam Agama Saya Jurnalisme menuliskan bahwa seorang jurnalis “perlu tahu dan
berani”. Seorang Jurnalis harus tahu
sekecil apapun yang akan ditulis. Mencari tahu bisa dengan reportase, wawancara,
riset dan banyak membaca. Dalam mencari tahu demi
sebuah kebenaran itulah jurnalis sering di hadapkan pada rintangan bahkan
ancaman dari berbagai pihak yang kurang suka pada kebenaran yang ingin di sampaikan.
Seorang jurnalis harus rela menghibahkan nyawa dan
raga sebagai jaminan atas tugas berat
yang di emban. Sebab, dibaca dari fakta yang terjadi di
lapangan jurnalis yang menjadi
korban penyiksaan bahkan kehilangan nyawa dan kehidupan
adalah mereka yang kritis pada kebijakan penguasa. Inilah yang menjadi
tantangan berat jurnalis dalam memikul beban sebagai corong
kebenaran.
Ancaman apapun yang menghadang di
depan mata, prinsip menyampaikan kebenaran menjadi hal mutlak yang harus tetap
di sampaikan. Karena “tahu” saja tidak cukup, perlu keberanian untuk menuliskan dan mempublikasikan apa
kebenaran yang diketahui. Itulah sebabnya jurnalis mempunyai kewajiban mendasar
untuk berani menyampaikan kebenaran.
Sewaktu rezim ORBA
berkuasa ancaman yang dihadapi berupa pembredelan media dan penyanderaan serta terbatasnya ruang
gerak jurnalis untuk menyuarakan kebenaran. Kini setelah kebebasan pers di
suarakan ancaman itu menjelma ancaman
kematian bila berani menyuarakan kebenaran.
Perlukah
Jurnalis di lindungi?
Pembredelan terhadap beberapa media massa pada masa
ORBA tahun 1994 sudah melahirkan salah satu organisasi Jurnalis dengan sebutan
AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Keberadaan AJI saat itu sebagai sebuah komunitas jurnalis
alternatif, karena PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang berdiri lebih dulu
ternyata lebih berpihak pada Soeharto bukan pada kebenaran. Setelah rezim Soeharto runtuh dan
memasuki gerbang reformasi AJI terus
mempertahankan kebebasan pers. Meski kenyataannya sampai saat
ini ancaman, penyiksaan, penyanderaan,
bahkan perlakuan kasar sehingga menyebabkan kematian pada jurnalis tetap terus terjadi bagai kuku yang rutin dipotong tetapi terus tumbuh.
AJI secara bertahap melakukan peningkatan
profesionalisme jurnalis untuk menciptakan pers yang sehat dan berpegang
teguh pada kebenaran serta
mengupayakan agar jurnalis dapat menikmati
kesejahteraan. Kiranya tak salah bila jurnalis pantas menerima perlindungan
hukum karena menyampaikan kebenaran bukanlah tergolong tugas yang mudah.