Minggu, 19 Mei 2013

Jalan Jurnalis Yang Panas


Masih hangat dalam ingatan kita pada peristiwa pembunuhan Aryono Linggotu, seorang wartawan harian metro manado pada November 2012 oleh orang tak dikenal. Pada tahun yang sama International News Safety Institute (INSI) mengeluarkan hasil riset berjudul Killing The Messenger tentang beberapa negara paling berbahaya bagi seorang Jurnalis. Yang mencengangkan, ternyata Indonesia masuk pada urutan ke 4 setelah Syiria, Nigeria, dan Brasil. Pada periode Januari-Juni 2012 setidaknya ada 6 Jurnalis Indonesia dibunuh saat bertugas.
Kalau sejenak melihat sejarah Jurnalis pada masa lalu, kekerasan, penyikasaan, bahkan kematian pada Jurnalis memang bukanlah hal yang asing lagi. Salah satunya mungkin masih membekas di ingatan masyarakat, misalnya kematian Fuad Muhammad Syafruddin seorang wartawan Harian Bernas Yogyakarta karena di aniaya pada Agustus 1996 silam. Juga penyanderaan terhadap wartawan RCTI Ersa Siregar dan Ferry Santoro pada 2003 oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh Timur.
            Mengapa kemudian profesi Jurnalis begitu menjanjikan kematian?.

Kebenaran Jurnalisme
            Prinsip dasar jurnalisme seperti yang ditulis Bill Kovach dalam The Elements Of Journalism adalah pada kebenaran. Informasi yang ditulis seorang jurnalis adalah fakta yang objektif bukan sekadar kebenaran filosofis ataupun akurasi belaka. Prinsip jurnalisme itu sejalan dengan tujuan utama jurnalisme yang menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah “menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri”.
            Untuk mencari kebenaran, Andreas Harsono dalam Agama Saya Jurnalisme menuliskan bahwa seorang jurnalis “perlu tahu dan berani”. Seorang Jurnalis harus tahu sekecil apapun yang akan ditulis. Mencari tahu bisa dengan reportase, wawancara, riset dan banyak membaca. Dalam mencari tahu demi sebuah kebenaran itulah jurnalis sering di hadapkan pada rintangan bahkan ancaman dari berbagai pihak yang kurang suka pada kebenaran yang ingin di sampaikan.
            Seorang jurnalis harus rela menghibahkan nyawa dan raga sebagai jaminan atas tugas berat yang di emban. Sebab, dibaca dari fakta yang terjadi di lapangan jurnalis yang menjadi korban penyiksaan bahkan kehilangan nyawa dan kehidupan adalah mereka yang kritis pada kebijakan penguasa. Inilah yang menjadi tantangan berat jurnalis dalam memikul beban sebagai corong kebenaran.
            Ancaman apapun yang menghadang di depan mata, prinsip menyampaikan kebenaran menjadi hal mutlak yang harus tetap di sampaikan. Karena “tahu” saja tidak cukup, perlu keberanian untuk menuliskan dan mempublikasikan apa kebenaran yang diketahui. Itulah sebabnya jurnalis mempunyai kewajiban mendasar untuk berani menyampaikan kebenaran.
Sewaktu rezim ORBA berkuasa ancaman yang dihadapi berupa pembredelan media dan penyanderaan serta terbatasnya ruang gerak jurnalis untuk menyuarakan kebenaran. Kini setelah kebebasan pers di suarakan ancaman itu menjelma ancaman kematian bila berani menyuarakan kebenaran.

Perlukah Jurnalis di lindungi?
            Pembredelan terhadap beberapa media massa pada masa ORBA tahun 1994 sudah melahirkan salah satu organisasi Jurnalis dengan sebutan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Keberadaan AJI saat itu sebagai sebuah komunitas jurnalis alternatif, karena PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang berdiri lebih dulu ternyata lebih berpihak pada Soeharto bukan pada kebenaran. Setelah rezim Soeharto runtuh dan memasuki gerbang reformasi AJI terus mempertahankan kebebasan pers. Meski kenyataannya sampai saat ini ancaman, penyiksaan, penyanderaan, bahkan perlakuan kasar sehingga menyebabkan kematian pada jurnalis tetap terus terjadi bagai kuku yang rutin dipotong tetapi terus tumbuh.
             AJI secara bertahap melakukan peningkatan profesionalisme jurnalis untuk menciptakan pers yang sehat dan berpegang teguh pada kebenaran serta mengupayakan agar jurnalis dapat menikmati kesejahteraan. Kiranya tak salah bila jurnalis pantas menerima perlindungan hukum karena menyampaikan kebenaran bukanlah tergolong tugas yang mudah. 

Minggu, 05 Mei 2013

Puisi-Puisi Nurul Ilmi El-Banna Minggu Pagi (KR) pada minggu IV Januari 2013



Sepanjang Malioboro

Malioboro menumpahkan kepulan asap knalpot
Ketika pagi kehilangan usia
Berganti siang yang bising luar biasa
Orang-orang tergesa memburu nafas di dada kota tua
Kendaraan mengejar bau aspal
Berlari, melesat bagai kilat
Kita menikmati semangkok bakso
Lalu mengukur nol kilometer
dan mengabadikan secarik foto

Malioboro, mengundang lebam rindu pada kampung halaman
Yang lekat di antara sudut ingatan

Yogyakarta, 05 Januari 2013

Merindu Tanah Kelahiran

Mulai akrab keramaian kota
Seakan aku lupa kemana tempat kembali paling teduh
tanpa polusi dan debu
Hanya wajah Ibu kiblat abadi
tempat kepulangan selalu tertunda
Sum-sum tulangmu mungkin mulai membungkuk
Tanda rindu yang tersimpan mengering
Rambutmu pun nanti akan memutih
Seperti rinduku yang kian terperangkap disini
Di tanah setapak tempat Ibu menunggu
Dulu  kelahian menyiarahi tubuh mungilku
Dan kelak  kematian menjemput ragaku
Kota kecil yang teramat kecil
Tempat rinduku sering meluap-luap mengalir
Kota yang tak akan berlari meski kutinggal pergi
seribu tahun lagi
Menantiku kambali menziarahi mimpi

Yogyakarta,13 Desember 2012

Madura-Yogya

Dari hulu pedesaan
Saat pagi masih sering menyajikan kicau burung
Dari luka yang menggaris langkah
dari gerimis air mata
Lewat suramadu yang memanjangkan langkah
Bus melaju membawaku menuju Yogya
Tempat sajak terlahir, penyair melelehkan keringat usaha
di hilir jalan-jalan panjang

“jangan pulang sebelum jadi penyair beneran” pesan Ibu,
Menyisipkan madah do’a di balik bajuku

Yogyakarta, 2012

Kampungku

Bangau-bangau menjulurkan paruh ke ujung cakrawala
Awan sirus menjadi petanda orang-orang desa turun ke sawah
Kampungku, dimana pasir putih membingkai jalanan
tempat gelombang menciumi bibir pantai di tepian
Kampungku rahim nelayan
tempat bapak melahirkan ikan-ikan dari keringat lautan
Sedang Ibu membuat rupiah dari hasil pertanian
Kampungku, tempat orang-orang bermata kesederhanaan
Mencipta kebenaran dari pitutur nenek moyang
Rumahku, gubuk ilalang
menghangatkan tubuh waktu hujan
Menyapih keringat dari terik matahari siang
Disini, matahari datang lebih awal
dan selalu terlambat pulang ke arah petang
Sedang rembulan tak jemu menemani
mengecap gelap malam bersama debur gelombang
Kampungku Batang-Batang*
masa kecilku memburu kerang di pantai Lombang*

Yogyakarta, 16 Januari 2013

*Batang-Batang : Salah satu kecamatan di Sumenep, Madura
*Pantai Lombang: Pantai di Batang-Batang


Lelaki Bertubuh Gelombang

Ototnya melipat-lipat tanda kuat, kulit tubuh hitam mengkilat
Dilapisi debur gelombang; lebih gagah dari elang
Hidup berkawan ombak, meminang lautan jadi istri
Mengajar jaring supaya pandai merayu ikan-ikan
Rumahnya beratap langit, tidur di biduk kecil bernama sampan
Lelaki tua, menjadi penunggu lautan; sudah berhari-hari tak pulang
Orang-orang memanggilnya nelayan
Saat siang, ia menjarah ikan. Tangannya kekar bagai pedang
menghancurkan batu karang
Kadangkala topan datang, tapi maut selalu takluk
kembali pulang kedasar laut
Bila tiba saatnya pulang ke daratan, ikan menyertai sambil berlagu
Menuju anak istri yang menunggu beserta rindu

Yogyakarta, 21 Januari 2013

Batas Jakarta dan Derita
Bila musim hujan bertandang, petani-petani girang
Tapi warga jakarta berang, sebab hujan adalah pertanda
banjir akan segera datang
Batas jakarta dan derita hanya pada tirus hujan
Yang sanggup menenggelamkan gedung-gedungnya ke bawah alam
Jakarta akan tenggelam; kabar di koran
Jakarta akan mati; menanggung dosa-dosa ekologi
hasil investasi racun polusi
Nyawa jadi tumbal, ribuan orang mengungsi dan terisolasi
Anak-anak menggantung angan di batas ruang
Ruang yang sudah hanyut ke arah laut
Muarakarang melempar gelap pemadaman hingga buta
Jakarta yang gemulai dengan macet; saluran airnya kini mampet
Bundaran HI yang tak pernah sepi
sunyi dan patungnya menggigil di patuk kaki hujan
Kota yang tak pernah tidur kini lelap berbantal senyap        
Jakarta Ibu kota derita

Yogyakarta, 21 Januari 2013


Minggu, 31 Maret 2013

Benteng Pengetahuan


Sejatinya, dunia kampus dengan segala fenomenanya tak bisa menjadi acuan dan tujuan belajar yang paling utama. Sebab kampus dan dosen seringkali membatasi ruang gerak berfikir mahasiswa. Dengan aturan yang mengikat dan sistem perkuliahan yang tidak proporsional seringkali menciptakan kampus bukan lagi sebagai dunia manusia. Saya seringkali berfikir mendalam bila mengingat satu buku berjudul “Sekolah Manusia”. Perkiraan saya kampus hari ini jauh sekali dengan konsep sekolah manusia yang di tawarkan buku itu. Pendidikan kampus bukan lagi wadah untuk belajar apa saja yang di inginkan mahasiswa, tapi lebih hanya sebatas birokrasi dan formalitas yang seringkali membatasi ruang gerak mahasiswa untuk mempelajari banyak hal yang dia sukai dan di minati.
Dosen adalah fasilitator kampus yang di sediakan untuk menempa otak mahasiswa sesuai dengan mata kuliah yang di ajarkan. Banyaknya mahasiswa dalam satu kelas dan bermacam-macamnya minat yang di miliki tentu membutuhkan kerja extra seorang dosen untuk memenuhi semua kebutuhan mahasiwa. Oleh karena itu di butuhkan dosen profesional, yang tak cukup hanya mengetahui materi kuliah tapi juga di tuntut mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, dapat mengkontekstualisasikan mata kuliah dengan dunia nyata, dan pengetahuan tambahan yang mendukung mata kuliah.
Saya terbiasa mengangap dosen sebagai seorang kawan. Tempat berbagi dan bertanya sebagaimana filosofi persahabatan yang sejak dulu saya pakai, take and give. Ini mungkin adalah pengaruh dari sistem pembelajaran waktu saya masih di pesantren. Ketika di pesantren guru seringkali memposisikan dirinya sebagai kawan. Sehingga kita bisa take and give bersama guru. Tak hanya melulu guru yang berpendapat tetapi murid pun boleh memberikan pengetahuannya dalam kelas. Di pesantren perbedaan adalah rahmat. Ternyata sistem seperti ini agak sulit saya dapatkan bila menemui dosen yang selalu memposisikan dirinya sebagai yang maha tahu. Saya menjadi teringat perkataan Emha Ainun Nadjib “manusia seringkali menutupi Tuhan dan Rasulnya dengan meng”ada-adakan” dirinya sendiri”.
Seorang dosen, dengan gaya bicara yang cepat dan kadang tidak jelas apa maksudnya sehingga kadang-kadang tidak saya mengerti. Sejak awal kuliah saya menandai ada kalanya dia sering memotong pembicaraan mahasiswa. Dia juga seringkali salah menafsirkan pendapat mahasiswa. (entah ini cuma firasatku atau juga kawan2.. hehehe)
Ada dua hal yang membuat saya merasa geli apabila mengingat cara dosen itu mengambil persepsi dari perkataan mahasiswa (saya). Pertama, pada perkuliahan hari itu, pertama kali berpendapat saya sebenarnya mau mengungkapkan bagaimana hari ini fakta berita seringkali di politisi wartawan dan media. Wartawan dan media selalu memilih fakta-fakta yang terlihat memihak dan mencari aman dari berita miring si empunya media. Sehingga fakta seringkali harus “mati” di tangan wartawan. Pembicaraan saya ini di potong di tengah sebelum saya sempat melanjutkan hal terpenting di belakangnya. Si dosen memotong kemudian menjelaskan definisi fakta, apa itu fakta dan menyalahkan pendapat saya yang dia anggap sebagai definisi fakta. Padahal sejak tadi saya tidak sedang berbicara definisi fakta melainkan membicarakan bagaimana persepsi wartawan dalam memberitakan suatu kejadian yang seringkali menutupi fakta asli dengan hal lain yang kemudian di anggap fakta oleh publik. Karena saya kira untuk definisi fakta kawan-kawan mahasiswa sudah banyak yang tahu dan dapat pula menyampaikan pendapatnya.
Kelanjutan dari perkataan saya yang sudah di potong kembali saya simpan dalam otak. Mau di politisi dan di sembunyikan bagaimanapun fakta tetap fakta tak bisa di pengaruhi siapa pun. Tetapi jurnalis seringkali menutupi si fakta tadi dengan kepentingan banyak hal, salah satunya kepentingan media. Ada satu contoh, pernah media televisi mainstream (nasional) salah memberitakan fakta. Bayangkan, media yang bisa di akses se-Indonesia dan di kenal seluruh lapisan masyarakat bahkan menjadi salah satu channel favorit masyarakat Indonesia salah memberitakan fakta. Apakah jadinya?. Di tambah dengan media cetak lokal yang juga salah dalam pemberitaannya. Saya tidak perlu sebutkan nama medianya tapi link ini http://rindupulang.blogspot.com/2012/07/bila-media-tak-setia-pada-fakta.html bisa di gunakan untuk membaca berita itu (di lihat ya kawan tapi pastikan laptonya terkoneksi dengan internet.. hehehehe).  Jelas di situ bahwa fakta asli di tutupi oleh kepentingan pihak-pihak terkait.  
Kedua, ketika saya kembali berpendapat bahwa pasca reformasi kebebasan pers di perjuangkan dan pembredelan media sudah tidak berlaku lagi. Bila ada kesalahan media tentu wajib verifikasi. Bahkan dalam pemberitaan apapun selama proses berita terus berjalan media harus terus melakukan verifikasi kepada sumber berita dan di beritakan kembali hal terbaru yang sudah di dapatkan. Si dosen kembali ngotot mengatakan bahwa pembredelan masih ada, ada AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang mengawasi, kata si dosen. Saya tahu AJI (Aliansi Jurnalis Independen) adalah organisasi jurnalis yang benar-benar independen dan tidak memihak kepada pemerintahan, AJI juga bukan organisasi yang khusus mengawasi media dan melakukan “bredel-membredel”. Tapi mood saya terlanjur hilang untuk berbicara kembali. Berikut saya sertakan Pasal 4 dalam UU Pers; 1.Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. 2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 4.Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Si dosen kembali melanjutkan dengan mencontohkan kalau media porno pasti akan di bredel. Entah dosen itu sudah ngelantur ke arah mana. Dari tadi pembicaraan kita kesalahan fakta kok contohnya tentang porno? Kalau media yang jelas-jelas mempublikasikan porno seperti majalah porno yang sering di impor dari luar negeri jelas akan di bumi hanguskan bukan hanya di bredel. Karena memang di larang beredar di Indonesia. Dan hal itu bukan dalam kuasa AJI seperti yang di bilang si dosen. Kalau dulu pembredelan dilakukan oleh menteri penerangan tapi sekarang menteri itu sudah di bubarkan pada saat pemerintahan Gus Dur (kalau gak salah,, nanti di lihat lagi). Kalau masalah pornografi yang saya lihat di media untuk mengusut dan memusnahkan biasanya kepolisian. Berikut ini juga saya sertakan pornografi dalam UU Pers; Kode praktik bagi media pers/jurnalistik. 1. Pornografi; pers tidak menyiarkan informasi dan produk visual yang diketahui menghina atau melecehkan perempuan. Media pornografi tidak termasuk kategori pers. Meski demikian, adakalanya pers menyiarkan informasi gambar yang dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu. Dalam penilaian pornografi harus di sesuaikan dengan perkembangan zaman dan keragaman masyarakat. (untuk ke 2, 3, dan selanjutnya tidak saya sertakan ya kawan,, hehehe banyak)
Saya hanya bisa bersikap “geregetan” dan mood untuk bicara menantang pendapat si dosen sudah hilang. Tidak ada gunanya berbicara di depan orang yang tertutup mata hatinya dari menerima pendapat orang lain. Malam harinya, untuk mendapat keterangan yang valid saya langsung bertanya kepada beberapa senior LPM ARENA. Jawaban mereka semua sama sekarang ini tidak ada pembredelan. Untuk lebih meyakinkan saya bertanya lagi kepada Om Latief Noor Rahman wartawan Minggu Pagi (KR) dan Mas Addi Mawahibun Idhom seorang alumni Arena yang kini aktif di AJI dan jadi wartawan TEMPO. Jawaban mereka juga sama saat ini sudah tak ada pembredelan. Media yang terkena masalah pemberitaan kata mas Addi di wajibkan memuat hak jawab. Kalau media tidak mau memuat hak jawab Dewan Pers baru memberi hukuman. Tapi di zaman saat ini rasanya tak ada media yang mau mencoreng nama baiknya sendiri. Kalau ada kesalahan pasti akan ada verifikasi dan pemuatan hak jawab. Lebih lanjut, mas Addi mengatakan bahwa AJI dan PWI cuma organisasi profesi. Tak ada kewenangan untuk bredel-membredel. Semua pesan dari mereka masih saya simpan di inbox HP.
Saya menjadi yakin untuk terus belajar sendiri dengan membaca literatur pendukung. Kuliah tak cukup membaca buku mata kuliah saja. Proses belajar tentu akan lebih indah dengan autodidak, pikir saya saat ini. Sebenarnya bukan hanya mata kuliah ini yang seringkali saya temukan usaha-usaha peremangan pemikiran, mata kuliah yang lain pun ada.  Mahasiswa sejatinya harus punya benteng pengetahuan sendiri agar dapar berpikir kokoh dan tidak dapat terguncang gelombang peremangan pemikiran. Selamat belajar kawan, semoga tulisan ini bermanfaat dan kita senatiasa di lindungi oleh Tuhan.
Salam pagi di usia yang selalu pagi... hehehe (tersenyum)

Dini hari, 30 Maret 2013 

Jumat, 11 Januari 2013

Aliran Cerpen



Oleh : Fanny J. Poyk



Seperti biasa, jika bapak ke rumahku, dia kusodorkan beragam pertanyaan tentang apa saja, mulai dari sastra, kehidupan sehari-hari, politik hingga bisnis kecil-kecilan. Tapi karena kami selalu sepaham, maka obrolan tentang sastralah yang selalu menjadi topik utama dari setiap percakapan. Pagi ini, tape perekam sudah kusodorkan di hadapannya.

Sambil mempersiapkan sarapan pagi untuknya, tape itu kutaruh tepat di sisi kanan wajahnya. Sebagai jurnalis, tape itu sudah menjadi ‘teman setia’ yang banyak membantu pekerjaanku. Dia menjadi saksi sejarah di kala aku mewawancarai tokoh-tokoh penting dari dunia pendidikan, seniman, artis, tukang sayur, tukang becak, pengamen dan anak jalanan. Dia juga menjadi alat ampuh tatkala aku memperoleh proyek untuk menulis biografi, kisah inspiratif, novel pesanan dan aha…yang terakhir sebagai ghost writers. Dan pagi ini, tape mungilku yang tak pernah kenal lelah itu kugunakan untuk mewawancarai bapakku tentang aliran-aliran dalam cerpen. Mungkin ini kurang ilmiah dan kurang mendalam, masih sebatas kulitnya saja, tapi kuharap obrolan ini bisa menjadi sedikit masukan yang berguna bagi siapa saja yang mau membaca dan memahaminya. Inilah hasilnya…


Cerpen Naturalisme/Realisme bercampur Sains

Dalam membuat sebuah cerpen menurut bapak (mengambil dari pendapat Mohtar Lubis) ada peristiwa sambung-menyambung (everyday). Seorang pengarang cerpen bisa saja secara tiba-tiba didatangi/dipengaruhi sensasi absurd pada klimaks cerpen yang dibuatnya. Setelah itu dia akan membuat antiklimaks dari karyanya, dan itu merupakan penyelesaian dari penemuan yang sensasional dalam kisah yang dikarangnya. Misalnya, dalam kisah itu, si tokoh bertemu dengan pelacur tiga jaman yang hidupnya tergantung pada dunia pelacuran, tokoh itu merasa iba ketika melihat mantan pelacur itu memberi minum seorang bayi asuhannya dengan susu botol bersama seekor kucing secara bergantian. Klimaksnya ia menasehati si mantan pelacur dengan mengatakan bahwa tindakannya itu tidak baik, karena bisa membahayakan si bayi sebab pada lendir kucing yang menempel di tempat untuk menyedot susu, itu banyak mengandung bakteri. Sensasi absurd dari kisah yang dibuatnya adalah tatkala si tokoh memberi mantan pelacur itu beberapa lembar ratusan ribu rupiah sebelum ia pulang dan berkata, “Ambilah uang ini untuk membeli susu bayi itu, belikan juga ia botol susu yang baru, jangan memberi minum bayi bergantian dengan kucing itu, karena bisa saja si bayi terserang disentri atau penyakit lainnya!” Itulah antiklimaks dari cerpen dengan gaya naturalis. Namun banyak kisah yang bisa dibuat dengan memakai gaya ini asal penulisannya logis dan masuk di akal. “Kita jangan menulis matahari pagi muncul di sebelah barat, itu tidak logis. Itu naturalisme yang salah! Naturalis juga bisa dicampur dengan sains, seperti penyakit disentri dan sebagainya. Yang pasti, si pengarang tahu kalau manusia minum bersama binatang tidak sehat, karena dalam tubuh binatang bisa saja terkandung enzim-enzim yang bisa berkembang biak menjadi penyakit.” jelas bapak.

Cerpen Simbolis

Cerpen yang bersifat simbolisme menurut bapak, ada makna kenyataan hidup sehari-hari, setelah itu baru terdapat makna simbolik, makna yang berisikan lukisan tentang kenyataan hidup secara simbolis, bukan kenyataan sesungguhnya, akan tetapi hanya khayali semata. Pada kisah simbolis bisa saja ada rantai pengalaman jurnalistik, akan tetapi dapat pula disambung dengan rantai khayalan yang menggunakan sistim dialektika; di mana ada these, antithese, sinthese. These, misalnya seorang suami mempertahankan pendapatnya berdasarkan pengalaman dan penelitian. Si suami bilang ke isterinya, “Kamu jangan keras kepala pada saya. Kemudian antithesenya, si isteri melawan dan mengatakan these suaminya salah. maka akhirnya mereka bertengkar, pertengkaran ini terus menerus terjadi, kadang mereka berdamai, kadang bertengkar lagi. Mulai dari these, berubah menjadi antithese dan selanjutnya menjadi synthese kembali, begitu seterusnya. Jadi, hubungan these, anthitese, synthtese itu terus-menerus tak ada akhirnya. Keadaan ini lambat laun menjadi sebuah kehidupan yang simbolis.”

Seperti yang sudah disebutkan di atas, cerpen simbolis bisa kait mengait antara pengalaman jurnalistik ditambah dengan khalayan. Hubungan ini akan menjadi sebuah simbol, seperti orang membuat kalung ada kait mengkait dari bahan yang pertama, kedua dan seterusnya, hingga membentuk sebuah rantai. Namun demikian, cerpen simbolis bisa juga memakai gaya naturalisme dan makna atau peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya tetap dipakai.

Akan tetapi, jika dalam cerpen simbolis lebih banyak memasukkan unsur jurnalisme, di mana di dalamnya lebih menggambarkan tempat-tempat kejadian, maka cerpen itu bukan lagi cerpen simbolis, namun lebih ke peristiwa jurnalistik, yang terdiri dari unsure 5 W dan 1 H. Kesimpulannya, cerpen simbolik itu berisi kisah/peristiwa yang memiliki rantai peristiwa yang sambung-menyambung. Namun, apabila kisah jurnalisitik itu dikombinasikan dengan imajinasi dan berbagai hal lainnya yang ada di benak si pengarang, maka kisah itu pada akhirnya akan menjadi sebuah simbol seperti halnya simbol gelang atau kalung yang bisa menambah daya pikat seorang wanita. “Contohnya seperti karya NH Dini, ia menyebutkan nama kota hanya dengan kata S saja, namun cerita itu berjalan, dari S ke sini, naik kapal ini atau kapal itu. Dan itu rantai peristiwa. Tapi kalau tempat digambarkan terlalu banyak, maka cerpen itu hanya akan menjadi sebuah laporan jurnalistik.” Terang bapak.

Penekanan pada Konflik

Cerpen simbolis tidak perlu melukiskan tempat terlalu detail, misalnya, Bali, Jakarta, Singapura, Amerika atau di mana pun, yang lebih ditekankan adalah konfliknya. Misalnya synthese berubah kembali menjadi these, lalu muncul antithese dan kembali lagi ke synthese, begitu seterusnya. “Di sini saya tekankan, konflik-konfilk dalam cerpen itu terus-menerus seperti sambungan sebuah kalung. Kehidupan seseorang bisa digambarkan dalam sebuah rantai dialektika yang ada dalam ketiga unsur tadi.”

Sastra Ide


Cerpen dalam sastra Ide merupakan cerpen yang hanya berisi ide-ide saja. Si pengarang hanya menuliskan ide-idenya. Namun demikian, pada cerpen ini unsur filsafat banyak terdapat di dalamnya. Cerpen seperti ini tidak perlu jalan cerita, tidak perlu struktur cerita, cerita seenaknya mengalir dari pemikiran si pengarang yang ada cuma stream of conciousness (alur kesadaran). Jadi si penulis berfilsafat terus, dari alinea satu ke alinea lainnya terus menerus berisi pemikirannya, penggambaran tokoh tidak begitu penting. Pengarang sastra ide yang cukup terkenal bernama James Joyce, pada karya-karyanya ia ngoceh apa saja sesuka hatinya.

Teater Ide

Sebagai tambahan, jika ada cerpen dengan aliran sastra ide, maka ada pula teater ide. Pada teater ide permainan watak tokoh-tokohnya tidak begitu penting. Isinya bisa beragam ide, misalnya tentang bagaimana mengatasi pengangguran, lalu dia maki-maki pemerintah dan sebagainya. Bermain-main dengan kata pada intinya hanya permainan ide di filsafat saja. Dalam karyanya pengarang bisa terus berceloteh semaunya. Contohnya, “saya tidak minta untuk dilahirkan, kenapa saya ada di sini?” Penulis teater ide yang terkenal adalah Albert Camus. Bisa dibilang penulis teater ide ini sangat tergila-gila pada ide. Namun demikian, seorang pengarang prosa lirik pun kerap menggunakan sastra ide, dia berfilsafat saja di karya-karyanya. Sastra ide juga perlahan-lahan akan berubah menjadi ekspresionisme apabila karyanya diekspresikan.

Sejarah Pemikiran Sastra

Dalam sejarah pemikrian sastra, ada beberapa masa, salah satunya masa klasik, pada masa itu seorang pengarang terobsesi dengan segala hal yang indah, seperti kagum pada keindahan patung-patung Yunani, hal ini sangat rasional, sehingga akhirnya terbentuk menjadi rasional klasik. Setelah orang bosan dengan rasionalisme klasik, datanglah masa romantisme (agama perasaan), bosan dengan romatisme datang lagi aliran realisme. Setelah itu muncul realisme bercampur dengan naturalisme, kemudian ekspresionisme dan selanjutnya ke sastra absurd. Keadaan itu terus berputar seperti roda. “Semua masa itu bagus, ini adalah perjalanan jiwa zaman di mana seperti sekarang, di Indonesia tiba-tiba timbul konfigurasi agama, yang didahulukan agama. Contoh lain, di Jepang, konfigurasi agama hilang, yang muncul industri dan perdagangan, jadi masa yang ada berpindah-pindah. Begitu juga dalam kesenian, klasik, romantik, idealisme, sastra ide, ekspresionisme (menghambur-hamburkan perasaan), lalu pindah ke sastra absurd, dan begitu seterusnya. Seorang pengarang bagusnya menguasai kelima-limanya. Kalau kita lagi senang dengan idealisme atau sastra ide, kita akan menulis tentang filsafat melulu. Sedangkan jika kita kita menulis tentang naturalisme, kita akan memasukkan ilmu alam, ilmu jiwa, sosiologi masuk, dll. Dan begitu seterusnya.” Jelas bapak.

Etos, Pathos, Logos

Bapak menambahkan, untuk menjadi pengarang, penulis, maupun intelektual, bagusnya satu tahun membaca tiga ratus buku, namun jika buku itu sulit untuk dipahami, dalam setahun harus dibaca tiga ratus kali agar hafal dan selalu ingat. “Seorang anggota DPR itu, apakah dia sudah mengenal John Locke, Descartes, Kant, Mao Tze Tung, Gandhi, dll? Kalau sudah itu bagus, sebab kalau mau menjadi pemimpin mereka harus tahu semua pemikiran tokoh-tokoh itu. Kalau tidak, mereka musti memiliki staf ahli yang siap memberi masukan ilmu. Tapi yang penting, pada para pemimpin di negeri ini paling tidak harus memiliki logos, pathos dan ethos (akal, perasaan/iba jika rakyat menderita dia harus menderita, sengsaramu adalah sengsaraku). Tuhan itu Pathos. Kita tidak mengenal Tuhan sebagai Noumenon akan tetapi Dia menjadi Fenoumenon, sehingga kita bahwa tahu Tuhan itu memiliki Pathos yang tinggi. Sedangkan ethos atau watak kerja harus ada dalam diri seorang pemimpin, pemimpin harus memiliki watak kerja yang baik. Ketiga unsur itulah yang harus dipegang. Jika tidak, maka akan memble semua.

Mudah-mudahan tulisan ini cukup bermanfaat dan ada gunanya...