Jumat, 09 November 2012

Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia

Awal Kemerdekaan (1942-1945) Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa s urat kabar sunda bersatu untuk meneritkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Setelah Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959) Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti nama. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai semangat tinggi. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya. Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional, karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa. Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta. Setelah Agresi Militer Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di kalangan masyarakat luas. Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI yang baru tersebut. Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948 penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan. Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti; kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan) Republik. Masa Orde Bru (1959-1998) Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun. Melalui surat kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat dan perasaannya, sehingga banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka saling berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak bisa bertahan untuk terus terbit dengan teratur. Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan percetakan koran bangsa Indonesia. Matinya majalah dan koran bermutu di masa Demokrasi Liberal kemungkinan besar disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus baik dibidang teknik redaksional, teknis peralatan, keuangan, dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya koran dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin buruk. Di masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan. Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu. SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar. PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC. BPS singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos (Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi. Sewaktu menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan inti tujuan yang sama. Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu: Disiplin kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi dengan patuh pada indtruksi atasan. Jaminan Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya. Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah control atas tiap anggota. Sebagai langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966. Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ sendiri. Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers Pancasila. Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers, masyarakat dan pemerintah. Masa Orde Baru dan Era Reformasi Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers. Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan. Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan. Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru. Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat. Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara. Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan. Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan. Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini. Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari. Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab sosial. Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya. Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat. Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan

PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI DI INDONESIA

Sejarah Ilmu Komunikasi di Indonesia dan perkembangannya Istilah komunikasi berasal dari kata latin, “communicatio” yang secara estimologis bersumber dari kata “communis” yang berarti sama, bersama, atau sama makna (Drs. K. Prent CM, dkk. Kamus Latin-Indonesia. 157). Jadi, apabila ada dua orang terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi tersebut akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Bentuk dan cara komunikasi yang diciptakan manusia sesungguhnya terus berkembang sepanjang zaman, termasuk bahasa yang digunakan sebagai perantara. Ilmu komunikasi merupakan ilmu terapan dari kelompok ilmu sosial. Menurut ilmuwan, ilmu komunikasi bersifat indisipliner karena objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu yang lain, terutama yang masuk ilmu sosial. Dinamakan ilmu terapan karena dipakai untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dapat dirasakan kegunaannya secara langsung dan bersifat sosial. Ilmu-ilmu terapan berhubungan dengan perubahan atau pengawasan dari situasi-situasi paraktis,ditinjau dari sudut kebutuhan manusia. Sementara itu, bedanya dengan ilmu yang murni mengembangkan ilmu itu sendiri tanpa mempertimbangkan apakah ilmu tersebut secara langsung berguna bagi masyarakat atau tidak. Di Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji saat ini sebenarnya merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres itu yang kemudian membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi. Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang telah lama mengganti nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa. Kajian terhadap ilmu komunikasi sendiri dimulai dengan nama Publisistik dengan dibukanya jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun 1950, Akademi Penerangan pada tahun 1956, Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta pada tahun 1953, dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1959. Nama Ilmu Komunikasi Massa dan Ilmu Komunikasi sendiri baru muncul dalam berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970-an. Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan kemudian mengembangkannya di Perguruan Tinggi, antara lain Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960-an, deretan tokoh itu bertambah lagi dengan datangnya dua pakar dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil Astrid S. Susanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi Dahlan dari Amerika Serikat (1967). Dalam perkembangannya, kendati telah terjadi perkembangan yang penting mengenai paradigma ilmu komunikasi dimana telah muncul paradigma baru yang diuraikan oleh B. Aubrey Fisher dengan sebutan perspektif psikologis, mekanis, dan pragmatis , di Indonesia hingga saat ini ternyata masih saja berkiprah pada paradigma lama atau klasik yang dinamakan perspektif mekanistis. Hampir semua penelitian empiris komunikasi manusia di Indonesia berdasar pada perspektif mekanistis dimana yang menjadi objek penelitian adalah alam atau fisik saja. Kekecewaan dan kritik terhadap kajian ini memang telah tumbuh, bersamaan dengan semakin berkembangnya teori dan pengkajian ilmu komunikasi. Namun, mekanistis masih saja dipakai walau minat baru, gagasan baru, dan teori baru telah tumbuh dan berkembang Komunikasi Massa dan Perkembangannya di Indonesia Fungsi dan unsur-unsur komunikasi massa Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa. Komunikasi massa dikatakan sebagai suatu objek studi karena semakin lama, peran media sebagai institusi penting dalam masyarakat kian meningkat. Berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka komunikasi massa memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut : - Serempak - Meluas - Segera - Anonim (tidak saling kenal) - Melembaga - Komunikasi searah - Influence (mempengaruhi) - Menginformasikan Adapun unsur-unsur dalam komunikasi massa adalah sebagai berikut : - Sumber/komunikator - Pesan/informasi - Saluran/media - Penerima pesan/komunikan - Efek Perkembangan komunikasi massa Berikut perkembangan komunikasi massa di Indonesia : Tahun 1920-1945 Di masa ini khalayak tidak berperan secara aktif, hal ini dikarenakan tidak diberikannya peluang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya. Masyarakat Indonesia berada dibawah tekanan penjajahan, sehingga minat intelektual masyarakat Indonesia relatif rendah. Di sisi lain, media berperan aktif terutama sebagai alat perjuangan. Akan tetapi keberadaan media masih terkukung dalam semangat kedaerahan yang tak terelakkan, bahkan sampai penjajah meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah dengan adanya tekanan dari pemerintahan penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana tidak ada berita yang tersiar tanpa persetujuan gubernur jenderal membuat media tidak dapat bergerak dengan bebas. Tahun 1945-1965 Berbeda dengan masa kemerdekaan, di masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai berperan secara aktif. Segala gagasan, kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas dituangkan khalayak di dalam media. Namun walau demikian, tidak semua gagasan, kreasi, dan pikiran khalayak dapat tersalurkan dalam media secara baik. hal ini dikarenakan sistem yang diterapkan oleh pemerintahan penjajah kembali diterapkan (walau tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno. Peran pemerintah di masa Orde Lama terlihat sangat dominant. Hal ini dibuktikan dengan adanya penerapan situasi darurat perang (SOB), dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Aturan tersebut mengakibatkan banyak media yang diberangus dan juga penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Tahun 1965- 1998 Di masa Orde Baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media. Peran media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Represi bahkan sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru, orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen. Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto). Proses komunikasi berjalan dengan sangat selektif. Hal ini terlihat dengan adanya golongan yang sangat dominan di dalam proses komunikasi tersebut, yakni pemerintah. Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.. Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab. Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya. Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut--secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers. Tahun 1998- sekarang Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde Baru, khalayak kembali menggeliat aktif. Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari pemerintah. Begitu juga media, dapat berperan secara aktif khususnya dalam mengambil peran sebagai penyalur/penengah bagi khalayak dan hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers. Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.[21] Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu. Di era reformasi ini, peran pemerintah tidak dominan dibanding era-era sebelumnya. Pemerintah memberikan kebebasan kepada media sesuai dengan tugas dan fungsinya DAFTAR PUSTAKA 1. Budiharsono S, Suyuti, Drs, Hj, 2003. Politik Komunikasi, Jakarta, Grasindo. 2. Arifin, Anwar, Prof, Dr, H, 1988. Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengatar Ringkas, Jakarta, Rajawali Press. 3. Effendy, Onong Uchjana, Prof, Drs, MA, 2004. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Selasa, 06 November 2012

Sembilan Elemen Jurnalisme Bill Kovach

1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran 2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara 3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi 4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya.. 5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. 6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional 9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya. INDEPENDENSI Bagaimana dengan elemen ke-4 (Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputan/tulisannya)? Sebagai wartawan kita harus sebisa mungkin bersikap independen, tanpa takut dan tanpa tekanan, tanpa konflik kepentingan. Namun, dalam banyak kasus, kita para wartawan tidak pernah bisa independen se-independen-independennya. Kita bekerja untuk majikan yang punya kekuasaan dan uang. Atau mungkin kita punya saudara yang dekat kekuasaan. Bahkan jika kita bekerja di sebuah media yang dibiayai oleh donor asing, bisakah kita mengklaim independen? Kita mungkin bisa independen terhadap partai politik tertentu, tapi bisakah independen terhadap kepentingan bisnis tertentu; wartawan Kompas terhadap Gramedia Group; wartawan Bisnis Indonesia terhadap Sahid Group; wartawan Metro dan Media terhadap Surya Paloh Group, yang tidak hanya bisnisman tapi juga tokoh Partai Golkar? Bill Kovach memberi jalan keluar untuk kemustahilan itu: “Jika wartawan/media memiliki hubungan yang bisa dipersepsikan sebagai konflik kepentingan, mereka berkewajiban melakukan full-disclosure tentang hubungan itu.” Tujuannya adalah agar pembaca waspada dan menyadari bahwa tulisan/liputan itu tidak independen-independen amat. VERIFIKASI Salah satu kata kunci dari semua elemen tadi adalah “disiplin verifikasi” untuk mencapai kebenaran KOMPREHENSIF DAN PROPORSIONAL Elemen ini hanya bisa dipenuhi jika wartawan tidak hanya menerima fakta yang terlalu mudah bisa diraih. “Wartawan harus menggali lebih jauh fakta-fakta dan menyusunnya dalam sebuah konteks.” HATI NURANI WARTAWAN Kebenaran kadang bersifat sangat elusif. Sangat sering kita wartawan dihadapkan pada keputusan yang harus ditimbang hati nurani, melalui dialog dalam diri kita. Wartawan yang independen adalah yang bisa exercise hati nurani itu tanpa tekanan dan tanpa iming-iming, termasuk tekanan atasan dan tekanan kehilangan pekerjaan. Jika seorang wartawan meyakini suatu kebenaran, tapi dia takut mengungkapkannya karena takut dipecat, misalnya, dia tidak independen (Dan kembali lagi ke elemen ke-4). Lalu, di mana posisi kita sebagai wartawan saat ini? Jawabannya terpulang kepada masing-masing peserta. Selamat menjadi wartawan yang baik. (disarikan dari tulisan farid gaban)

Sembilan Elemen Jurnalisme Bill Kovach

1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran 2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara 3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi 4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya.. 5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. 6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional 9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya. INDEPENDENSI Bagaimana dengan elemen ke-4 (Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputan/tulisannya)? Sebagai wartawan kita harus sebisa mungkin bersikap independen, tanpa takut dan tanpa tekanan, tanpa konflik kepentingan. Namun, dalam banyak kasus, kita para wartawan tidak pernah bisa independen se-independen-independennya. Kita bekerja untuk majikan yang punya kekuasaan dan uang. Atau mungkin kita punya saudara yang dekat kekuasaan. Bahkan jika kita bekerja di sebuah media yang dibiayai oleh donor asing, bisakah kita mengklaim independen? Kita mungkin bisa independen terhadap partai politik tertentu, tapi bisakah independen terhadap kepentingan bisnis tertentu; wartawan Kompas terhadap Gramedia Group; wartawan Bisnis Indonesia terhadap Sahid Group; wartawan Metro dan Media terhadap Surya Paloh Group, yang tidak hanya bisnisman tapi juga tokoh Partai Golkar? Bill Kovach memberi jalan keluar untuk kemustahilan itu: “Jika wartawan/media memiliki hubungan yang bisa dipersepsikan sebagai konflik kepentingan, mereka berkewajiban melakukan full-disclosure tentang hubungan itu.” Tujuannya adalah agar pembaca waspada dan menyadari bahwa tulisan/liputan itu tidak independen-independen amat. VERIFIKASI Salah satu kata kunci dari semua elemen tadi adalah “disiplin verifikasi” untuk mencapai kebenaran KOMPREHENSIF DAN PROPORSIONAL Elemen ini hanya bisa dipenuhi jika wartawan tidak hanya menerima fakta yang terlalu mudah bisa diraih. “Wartawan harus menggali lebih jauh fakta-fakta dan menyusunnya dalam sebuah konteks.” HATI NURANI WARTAWAN Kebenaran kadang bersifat sangat elusif. Sangat sering kita wartawan dihadapkan pada keputusan yang harus ditimbang hati nurani, melalui dialog dalam diri kita. Wartawan yang independen adalah yang bisa exercise hati nurani itu tanpa tekanan dan tanpa iming-iming, termasuk tekanan atasan dan tekanan kehilangan pekerjaan. Jika seorang wartawan meyakini suatu kebenaran, tapi dia takut mengungkapkannya karena takut dipecat, misalnya, dia tidak independen (Dan kembali lagi ke elemen ke-4). Lalu, di mana posisi kita sebagai wartawan saat ini? Jawabannya terpulang kepada masing-masing peserta. Selamat menjadi wartawan yang baik. (disarikan dari tulisan farid gaban)