Minggu, 13 Juni 2010

OPTIMA Dalam Kenangan

Malam seperti ombak, membuatku terombang –ambing bagai di samudra luas. Tak ada bintang ataupun bulan di langit sana. Benar-benar sepi. Tangan-tangan kekar itu kembali mencengkram imajinasiku. Baru satu kedipan mata rasanya kegiatan OPTIMA dilaksanakan namun rasa rindu untuk mengulangnya sudah terasa menggerogoti kalbuku. Kenyataan bahwa aku harus kembali ke dunia kecilku semakin menyakitkan saja. Dunia kecil yang memaksaku selalu menyerah, mengalah dan terlihat lemah.
Saat ini seharusnya aku belajar karena bel Jam Belajar Pondok sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu karena meski UAN sudah berakhir tidak berarti aku bebas dari peraturan Pondok. Di depanku ada satu Novel, satu buku Ilmiah dan satu kamus Ilmiah populer, tetapi tak ada sedikitpun keinginanku untuk membacanya. Aku lebih suka memandanginya sementara imajinasiku jauh melambung pada kenangan saat OPTIMA.
Masihkah engkau ingat kawan, kisah kita seminggu yang lalu di OPTIMA. Ketika berkumpul bersama. Menghabisan waktu dengan belajar bersama. Makan, tidur dan mandi pun bersama. Masih kental dalam ingatanku ketika kita menyanyikan lagu OPTIMA sambil bertepuk tangan bersama. Masih jelas rasanya terdengar di telinga lantunan ayat-ayat suci ketia kita mengaji dan istoghasah. Terkadang aku seperti mendengar bunyi air mengalir seperti suasana di kali tempat kita biasa mandi bersama. Terkadang juga seperti ada bunyi hewan-hewan melata yang dengan setia menemani tidur kita tiap malam. Masih ingatkah engkau kawan, tangis, tawa, senyum, dan duka yang sempat tercecer dalam peristiwa itu……
Dan aku paling geregetan manakala mengingat bunyi “derrttt….derrtt..” dan ternyata….. (lalu kita saling pandang satu sama lain kemudian tertawa).
Masihkah engkau ingat kawan, tetesan-tetesan air mata pada malam pentas seni itu. Ketika pelukan kebersamaan rasanya tak ingin kita lepaskan.
Ingatkah engkau kawan terutama kru Teratai dan teman-teman lain yang ikut membantu. Ingatkah malam-malam yang memaksa kita untuk lembur. Sehingga membuat kita susah membedakan mana Bantal dan buku, mana kursi dan lantai, mana selimut dan kardus. Dan baru ingat jika badan sudah merasa sangat kedinginan.
Bagiku kenangan itu terlalu berarti untuk di lupakan, entahlah bagi kalian.
Tersenyumlah jika kalian masih mengingatnya
Menangislah jika seandainya kalian sudah melupakannya


Dunia Kecil, April 2010

Selalu Ada Jalan Untuk Menulis

Hujan terus saja mengguyur, mengetuk-ngetuk pintu hatiku yang kedinginan. Ada sebersit perasaan kesal kenapa hujan tak juga reda. Padahal aku ingin segera berangkat ke Sawajarin-kompleks Madaris III Annuqayah- untuk mengikuti Diklat jurnalistik. Meski beberapa orang kawan menahanku untuk berangkat, namun dengan kemauan yang kuat, jadilah aku berangkat menggunakan payung yang ku pinjam dari seseorang. Aku bertekad menembus lebatnya hujan tak peduli sedingin apapun alam. Pokoknya aku harus mengikuti Diklat itu. Aku hanya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, aku hanya ingin membuktikan bahwa aku sungguh-sungguh serius untuk menjadi Penulis.

Sepanjang perjalanan aku terus membayangkan diriku menjadi penulis. Aku teringat perkataan Imam Al- Ghazali “ jika kamu bukan keturunan orang kaya (konglomerat) dan Ulama (darah biru), maka jadilah penulis “. Sepintas ungkapan itu seperti di tujukan untuk golongan menengah ke bawah. Ungkapan itu memang benar karena menulis hanya butuh modal kemauan, tak perlu uang ataupun jabatan penting. Kita akan dikenal orang dengan tulisan. Dan karena aku adalah orang yang miskin mungkin inilah jalanku, bergelut dengan tulis-menulis. Meski sesungguhnya semangat untuk menulis telah tumbuh sejak aku masih Mts, jauh sebelum aku mengenal kata-kata itu. Bagiku profesi menulis adalah profesi paling menyenangan sekaligus paling bebas. Bebas mengekspresikan apapun dan kapanpun. Dan akan mudah di kenali orang dengan tulisannya, buah tangannya sendiri, betapa tidak senang bukan. Dan akan sangat senang jika tulisan yang kita buat di minati banyak orang atau kita sedang sedang mood untuk menulis. Rasanya sulit di ungkapkan, tapi yang jelas bagiku masih lebih nikmat daripada Es krim rasa cokolate yang paling mahal sekalipun.
Seandainya boleh sedikit membandingkan, jika aku di tawari mau bertemu Artis terkenal apa Penulis terkenal, maka tak perlu panjang lebar, aku akan memilih bertemu Penulis terkenal, Afifah Afra –Penulis Favoritku-. Sebenarnya aku sama sekali tak mahir menulis, aku hanya mempunyai modal keinginan dan impian serta dorongan dari keluarga, guru, dan teman-teman. Tapi aku akan terus belajar, belajar, dan belajar. Entah sampai kapan. Aku bukan orang yang pemberani, bukan orang pinter dan cerdas namun ada ribuan kemauan yang mampu mengalahkan semua tolak ukur itu. Aku hanya ingin melanglang buana. Menikmati hidup yang hanya sekali ini dengan menulis meski aku tak sepenuhnya paham apa yang sebenarnya sedang aku cari.
Bersama Rafiqi Tanzil –salah satu wartawan Karimata FM- aku dan beberapa Kru Majalah Teratai serta teman-teman SMA 3 Annuqayah menghabiskan separuh hari kami untuk sejenak memasuki dunia tulis menulis. Dan berharap dapat memperoleh pencerahan setelahnya. Meski aku selalu merasa penaku masih tumpul, namun satu hal yang selalu aku ingat dan kuyakini bahwa Tuhan akan selalu membuka jalannya untuk menulis. Meski di tengah hujan lebat begini. Meski di tengah jalan yang di lalui penuh kerikil, terjal dan berliku.
Sebelum cerita ini aku tutup aku teringat kembali pada perkataan JK. Rowling –penulis novel Harry Potter- bahwa “aku akan menulis sekalipun belum tahu diterbitkan atau tidak”.


Dunia Kecil, Februari 2010

Magang Mengajar Santri Pra Pengabdian

Suasana sore yang biasanya di isi dengan santai dan canda tawa kini telah terenggut mesra. Selama satu minggu sejak sabtu (22/05/2010) sampai kamis (27/05/2010) santri kelas akhir pra pengabdian PPA. Nirmala putri yang sebentar lagi akan segera menjalani proses pengabdian kembali di godok dan di bekali berupa magang di TK Al wildan yang memang di kelola oleh PPA. Nirmala putri sendiri. Namun, meski cuma di kandang sendiri para peserta tetap sedikit deg-degan.


18 orang santri yang kini duduk di kelas akhir di bagi menjadi menjadi 6 kelompok di mana setiap kelompok terdiri dari 3 orang. Setiap harinya, selama satu minggu ke 6 kelompok itu di rolling untuk mengajar di 7 kelas yang di kelola TK Al Wildan. Antara lain TKA I, TKA II, TK B, TPAL, TQA I, TQA II, dan TQA III.

Magang itu di maksudkan sebagai salah satu upaya pelatihan, persiapan dan pemantapan bagi santri kelas akhir yang akan berangkat sebagai guru tugas agar nantinya tidak terkejut dan gelagapan di lapangan. Selain itu juga untuk menguji sejauh mana hasil yang dicapai sewaktu pembekalan kemarin. Serta untuk melatih kesabaran serta ketelatenan untuk menjadi pendidik sejati yang akan menjadi Agent of change pada pengabdian tahap selanjutnya.

"karena kami sudah di bekali cara-cara mengajar yang baik dan sesekali mengajar membantu ustadzah yang sedang berhalangan di TK Al Wildan jadi saya sedikit percaya diri walaupun tidak bisa di pungkiri ada juga rasa takut". Ungkap Siti Afifah salah satu Peserta Magang.

Tantangan paling berat yang sering di alami adalah menghadapi kepolosan anak-anak didik yng masih kecil. Menangis, bertengkar, dan tidak mau belajar. Hal itu sangat menguras kesabaran dan ketelatenan.

Magang pra pengabdian ini adalah satu jeda bagi kita semua untuk sejenak menengok ke belakang. Membuka kembali catatan-catatan yang mungkin penuh bercak dan noda. Sebagai satu slide untuk mengintropeksi diri. Sudahkah kita berarti bagi orang lain. Sudahkan kita membagi hidup kita untuk kepentingan ummat. Akhirnya marilah menjadi pengabdi sejati.