Sejatinya,
dunia kampus dengan segala fenomenanya tak bisa menjadi acuan dan tujuan
belajar yang paling utama. Sebab
kampus dan dosen seringkali membatasi ruang gerak berfikir mahasiswa. Dengan
aturan yang mengikat dan sistem perkuliahan yang tidak proporsional seringkali
menciptakan kampus bukan lagi sebagai dunia manusia. Saya seringkali berfikir mendalam
bila mengingat satu buku berjudul “Sekolah Manusia”. Perkiraan saya kampus hari
ini jauh sekali dengan konsep sekolah manusia yang di tawarkan buku itu.
Pendidikan kampus bukan lagi wadah untuk belajar apa saja yang di inginkan
mahasiswa, tapi lebih hanya sebatas birokrasi dan formalitas yang seringkali
membatasi ruang gerak mahasiswa untuk mempelajari banyak hal yang dia sukai dan
di minati.
Dosen
adalah fasilitator kampus yang di sediakan untuk menempa otak mahasiswa sesuai
dengan mata kuliah yang di ajarkan. Banyaknya mahasiswa dalam satu kelas dan bermacam-macamnya
minat yang di miliki tentu membutuhkan kerja extra seorang dosen untuk memenuhi
semua kebutuhan mahasiwa. Oleh karena itu di butuhkan dosen profesional, yang
tak cukup hanya mengetahui materi kuliah tapi juga di tuntut mempunyai
pengetahuan dan wawasan yang luas, dapat mengkontekstualisasikan mata kuliah
dengan dunia nyata, dan pengetahuan tambahan yang mendukung mata kuliah.
Saya
terbiasa mengangap dosen sebagai seorang kawan. Tempat berbagi dan bertanya
sebagaimana filosofi persahabatan yang sejak dulu saya pakai, take and give. Ini mungkin adalah
pengaruh dari sistem pembelajaran waktu saya masih di pesantren. Ketika di
pesantren guru seringkali memposisikan dirinya sebagai kawan. Sehingga kita
bisa take and give bersama guru. Tak
hanya melulu guru yang berpendapat tetapi murid pun boleh memberikan
pengetahuannya dalam kelas. Di pesantren perbedaan adalah rahmat. Ternyata
sistem seperti ini agak sulit saya dapatkan bila menemui dosen yang selalu
memposisikan dirinya sebagai yang maha tahu. Saya menjadi teringat perkataan
Emha Ainun Nadjib “manusia seringkali menutupi Tuhan dan Rasulnya dengan
meng”ada-adakan” dirinya sendiri”.
Seorang
dosen, dengan gaya bicara yang cepat dan kadang tidak jelas apa maksudnya
sehingga kadang-kadang tidak saya mengerti.
Sejak awal kuliah saya menandai ada kalanya dia
sering memotong pembicaraan mahasiswa.
Dia
juga seringkali salah menafsirkan pendapat mahasiswa. (entah ini cuma firasatku atau juga kawan2.. hehehe)
Ada
dua hal yang membuat saya merasa geli apabila mengingat cara dosen itu
mengambil persepsi dari perkataan mahasiswa
(saya).
Pertama, pada perkuliahan hari itu, pertama kali berpendapat saya sebenarnya
mau mengungkapkan bagaimana hari ini fakta berita seringkali di politisi
wartawan dan media. Wartawan dan media selalu memilih fakta-fakta yang terlihat
memihak dan mencari aman dari berita miring si empunya media. Sehingga fakta
seringkali harus “mati” di tangan wartawan. Pembicaraan saya ini di potong di
tengah sebelum saya sempat melanjutkan hal terpenting di belakangnya. Si dosen
memotong kemudian menjelaskan definisi fakta, apa itu fakta dan menyalahkan
pendapat saya yang dia anggap sebagai definisi fakta. Padahal sejak tadi saya
tidak sedang berbicara definisi fakta melainkan membicarakan bagaimana persepsi
wartawan dalam memberitakan suatu kejadian yang seringkali menutupi fakta asli
dengan hal lain yang kemudian di anggap fakta oleh publik. Karena saya kira
untuk definisi fakta kawan-kawan mahasiswa sudah banyak yang tahu dan dapat
pula menyampaikan pendapatnya.
Kelanjutan
dari perkataan saya yang sudah di potong kembali saya simpan dalam otak. Mau di
politisi dan di sembunyikan
bagaimanapun fakta tetap fakta tak bisa di pengaruhi siapa pun. Tetapi jurnalis
seringkali menutupi si fakta tadi dengan kepentingan banyak hal, salah satunya
kepentingan media. Ada satu contoh, pernah media televisi mainstream (nasional)
salah memberitakan fakta. Bayangkan, media yang bisa di akses se-Indonesia dan
di kenal seluruh lapisan masyarakat bahkan menjadi salah satu channel favorit
masyarakat Indonesia salah memberitakan fakta. Apakah jadinya?. Di tambah
dengan media cetak lokal yang juga salah dalam pemberitaannya. Saya tidak perlu
sebutkan nama medianya tapi link ini http://rindupulang.blogspot.com/2012/07/bila-media-tak-setia-pada-fakta.html
bisa di gunakan untuk membaca berita itu (di lihat ya kawan tapi pastikan
laptonya terkoneksi dengan internet.. hehehehe). Jelas di situ bahwa fakta asli di tutupi oleh
kepentingan pihak-pihak terkait.
Kedua, ketika saya kembali
berpendapat bahwa pasca reformasi kebebasan pers di perjuangkan dan pembredelan
media sudah tidak berlaku lagi. Bila ada kesalahan media tentu wajib
verifikasi. Bahkan dalam pemberitaan apapun selama proses berita terus berjalan
media harus terus melakukan verifikasi kepada sumber berita dan di beritakan
kembali hal terbaru yang sudah di dapatkan. Si dosen kembali ngotot mengatakan
bahwa pembredelan masih ada, ada AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang mengawasi,
kata si dosen. Saya tahu AJI (Aliansi
Jurnalis Independen) adalah organisasi jurnalis yang
benar-benar independen dan tidak memihak kepada pemerintahan, AJI juga bukan organisasi
yang khusus mengawasi media dan melakukan “bredel-membredel”. Tapi mood saya
terlanjur hilang untuk berbicara kembali. Berikut saya sertakan Pasal 4 dalam UU Pers; 1.Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara. 2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan atau pelarangan penyiaran. 3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers
nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi. 4.Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai Hak Tolak.
Si
dosen kembali melanjutkan dengan mencontohkan kalau media porno pasti akan di
bredel. Entah dosen itu sudah ngelantur ke arah mana. Dari tadi pembicaraan
kita kesalahan fakta kok contohnya tentang porno? Kalau media yang jelas-jelas
mempublikasikan porno seperti majalah porno yang sering di impor dari luar
negeri jelas akan di bumi hanguskan bukan hanya di bredel. Karena memang di larang beredar di Indonesia.
Dan hal itu bukan dalam kuasa AJI seperti yang di bilang si dosen. Kalau dulu
pembredelan dilakukan oleh menteri penerangan tapi sekarang menteri itu sudah di
bubarkan pada saat pemerintahan Gus Dur (kalau gak salah,, nanti di lihat
lagi). Kalau masalah pornografi yang saya lihat di media untuk mengusut dan
memusnahkan biasanya kepolisian. Berikut ini juga saya sertakan pornografi
dalam UU Pers; Kode praktik bagi media pers/jurnalistik. 1. Pornografi; pers
tidak menyiarkan informasi dan produk visual yang diketahui menghina atau
melecehkan perempuan. Media pornografi tidak termasuk kategori pers.
Meski demikian, adakalanya pers menyiarkan informasi gambar yang dinilai
menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu. Dalam penilaian
pornografi harus di sesuaikan dengan perkembangan zaman dan keragaman
masyarakat. (untuk ke 2, 3, dan selanjutnya tidak saya sertakan ya kawan,,
hehehe banyak)
Saya
hanya bisa bersikap “geregetan” dan mood untuk bicara menantang pendapat si
dosen sudah hilang. Tidak ada gunanya berbicara di depan orang yang tertutup
mata hatinya dari menerima pendapat orang lain. Malam harinya, untuk mendapat
keterangan yang valid saya langsung bertanya kepada beberapa senior LPM ARENA.
Jawaban mereka semua sama sekarang ini tidak ada pembredelan. Untuk lebih
meyakinkan saya bertanya lagi kepada Om Latief Noor Rahman wartawan Minggu Pagi
(KR) dan Mas Addi Mawahibun Idhom seorang alumni Arena yang kini aktif di AJI
dan jadi wartawan TEMPO. Jawaban mereka juga sama saat ini sudah tak ada
pembredelan. Media yang terkena masalah pemberitaan kata mas Addi di wajibkan
memuat hak jawab. Kalau media tidak mau memuat hak jawab Dewan Pers baru
memberi hukuman. Tapi di zaman saat ini rasanya tak ada media yang mau mencoreng
nama baiknya sendiri. Kalau ada kesalahan pasti akan ada verifikasi dan
pemuatan hak jawab. Lebih lanjut, mas Addi
mengatakan bahwa AJI dan PWI cuma
organisasi profesi. Tak ada kewenangan untuk bredel-membredel. Semua pesan dari
mereka masih saya simpan di inbox HP.
Saya
menjadi yakin untuk terus belajar sendiri dengan membaca literatur pendukung.
Kuliah tak cukup membaca buku mata kuliah saja. Proses belajar tentu akan lebih
indah dengan autodidak, pikir saya saat ini. Sebenarnya bukan hanya mata kuliah
ini yang seringkali saya temukan usaha-usaha peremangan pemikiran, mata kuliah
yang lain pun ada. Mahasiswa sejatinya
harus punya benteng pengetahuan sendiri agar dapar berpikir kokoh dan tidak
dapat terguncang gelombang peremangan pemikiran. Selamat belajar kawan, semoga tulisan
ini bermanfaat dan kita senatiasa di lindungi oleh Tuhan.
Salam
pagi di usia yang selalu pagi... hehehe (tersenyum)
Dini hari, 30 Maret
2013