Minggu, 31 Maret 2013

Benteng Pengetahuan


Sejatinya, dunia kampus dengan segala fenomenanya tak bisa menjadi acuan dan tujuan belajar yang paling utama. Sebab kampus dan dosen seringkali membatasi ruang gerak berfikir mahasiswa. Dengan aturan yang mengikat dan sistem perkuliahan yang tidak proporsional seringkali menciptakan kampus bukan lagi sebagai dunia manusia. Saya seringkali berfikir mendalam bila mengingat satu buku berjudul “Sekolah Manusia”. Perkiraan saya kampus hari ini jauh sekali dengan konsep sekolah manusia yang di tawarkan buku itu. Pendidikan kampus bukan lagi wadah untuk belajar apa saja yang di inginkan mahasiswa, tapi lebih hanya sebatas birokrasi dan formalitas yang seringkali membatasi ruang gerak mahasiswa untuk mempelajari banyak hal yang dia sukai dan di minati.
Dosen adalah fasilitator kampus yang di sediakan untuk menempa otak mahasiswa sesuai dengan mata kuliah yang di ajarkan. Banyaknya mahasiswa dalam satu kelas dan bermacam-macamnya minat yang di miliki tentu membutuhkan kerja extra seorang dosen untuk memenuhi semua kebutuhan mahasiwa. Oleh karena itu di butuhkan dosen profesional, yang tak cukup hanya mengetahui materi kuliah tapi juga di tuntut mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, dapat mengkontekstualisasikan mata kuliah dengan dunia nyata, dan pengetahuan tambahan yang mendukung mata kuliah.
Saya terbiasa mengangap dosen sebagai seorang kawan. Tempat berbagi dan bertanya sebagaimana filosofi persahabatan yang sejak dulu saya pakai, take and give. Ini mungkin adalah pengaruh dari sistem pembelajaran waktu saya masih di pesantren. Ketika di pesantren guru seringkali memposisikan dirinya sebagai kawan. Sehingga kita bisa take and give bersama guru. Tak hanya melulu guru yang berpendapat tetapi murid pun boleh memberikan pengetahuannya dalam kelas. Di pesantren perbedaan adalah rahmat. Ternyata sistem seperti ini agak sulit saya dapatkan bila menemui dosen yang selalu memposisikan dirinya sebagai yang maha tahu. Saya menjadi teringat perkataan Emha Ainun Nadjib “manusia seringkali menutupi Tuhan dan Rasulnya dengan meng”ada-adakan” dirinya sendiri”.
Seorang dosen, dengan gaya bicara yang cepat dan kadang tidak jelas apa maksudnya sehingga kadang-kadang tidak saya mengerti. Sejak awal kuliah saya menandai ada kalanya dia sering memotong pembicaraan mahasiswa. Dia juga seringkali salah menafsirkan pendapat mahasiswa. (entah ini cuma firasatku atau juga kawan2.. hehehe)
Ada dua hal yang membuat saya merasa geli apabila mengingat cara dosen itu mengambil persepsi dari perkataan mahasiswa (saya). Pertama, pada perkuliahan hari itu, pertama kali berpendapat saya sebenarnya mau mengungkapkan bagaimana hari ini fakta berita seringkali di politisi wartawan dan media. Wartawan dan media selalu memilih fakta-fakta yang terlihat memihak dan mencari aman dari berita miring si empunya media. Sehingga fakta seringkali harus “mati” di tangan wartawan. Pembicaraan saya ini di potong di tengah sebelum saya sempat melanjutkan hal terpenting di belakangnya. Si dosen memotong kemudian menjelaskan definisi fakta, apa itu fakta dan menyalahkan pendapat saya yang dia anggap sebagai definisi fakta. Padahal sejak tadi saya tidak sedang berbicara definisi fakta melainkan membicarakan bagaimana persepsi wartawan dalam memberitakan suatu kejadian yang seringkali menutupi fakta asli dengan hal lain yang kemudian di anggap fakta oleh publik. Karena saya kira untuk definisi fakta kawan-kawan mahasiswa sudah banyak yang tahu dan dapat pula menyampaikan pendapatnya.
Kelanjutan dari perkataan saya yang sudah di potong kembali saya simpan dalam otak. Mau di politisi dan di sembunyikan bagaimanapun fakta tetap fakta tak bisa di pengaruhi siapa pun. Tetapi jurnalis seringkali menutupi si fakta tadi dengan kepentingan banyak hal, salah satunya kepentingan media. Ada satu contoh, pernah media televisi mainstream (nasional) salah memberitakan fakta. Bayangkan, media yang bisa di akses se-Indonesia dan di kenal seluruh lapisan masyarakat bahkan menjadi salah satu channel favorit masyarakat Indonesia salah memberitakan fakta. Apakah jadinya?. Di tambah dengan media cetak lokal yang juga salah dalam pemberitaannya. Saya tidak perlu sebutkan nama medianya tapi link ini http://rindupulang.blogspot.com/2012/07/bila-media-tak-setia-pada-fakta.html bisa di gunakan untuk membaca berita itu (di lihat ya kawan tapi pastikan laptonya terkoneksi dengan internet.. hehehehe).  Jelas di situ bahwa fakta asli di tutupi oleh kepentingan pihak-pihak terkait.  
Kedua, ketika saya kembali berpendapat bahwa pasca reformasi kebebasan pers di perjuangkan dan pembredelan media sudah tidak berlaku lagi. Bila ada kesalahan media tentu wajib verifikasi. Bahkan dalam pemberitaan apapun selama proses berita terus berjalan media harus terus melakukan verifikasi kepada sumber berita dan di beritakan kembali hal terbaru yang sudah di dapatkan. Si dosen kembali ngotot mengatakan bahwa pembredelan masih ada, ada AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang mengawasi, kata si dosen. Saya tahu AJI (Aliansi Jurnalis Independen) adalah organisasi jurnalis yang benar-benar independen dan tidak memihak kepada pemerintahan, AJI juga bukan organisasi yang khusus mengawasi media dan melakukan “bredel-membredel”. Tapi mood saya terlanjur hilang untuk berbicara kembali. Berikut saya sertakan Pasal 4 dalam UU Pers; 1.Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. 2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 4.Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Si dosen kembali melanjutkan dengan mencontohkan kalau media porno pasti akan di bredel. Entah dosen itu sudah ngelantur ke arah mana. Dari tadi pembicaraan kita kesalahan fakta kok contohnya tentang porno? Kalau media yang jelas-jelas mempublikasikan porno seperti majalah porno yang sering di impor dari luar negeri jelas akan di bumi hanguskan bukan hanya di bredel. Karena memang di larang beredar di Indonesia. Dan hal itu bukan dalam kuasa AJI seperti yang di bilang si dosen. Kalau dulu pembredelan dilakukan oleh menteri penerangan tapi sekarang menteri itu sudah di bubarkan pada saat pemerintahan Gus Dur (kalau gak salah,, nanti di lihat lagi). Kalau masalah pornografi yang saya lihat di media untuk mengusut dan memusnahkan biasanya kepolisian. Berikut ini juga saya sertakan pornografi dalam UU Pers; Kode praktik bagi media pers/jurnalistik. 1. Pornografi; pers tidak menyiarkan informasi dan produk visual yang diketahui menghina atau melecehkan perempuan. Media pornografi tidak termasuk kategori pers. Meski demikian, adakalanya pers menyiarkan informasi gambar yang dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu. Dalam penilaian pornografi harus di sesuaikan dengan perkembangan zaman dan keragaman masyarakat. (untuk ke 2, 3, dan selanjutnya tidak saya sertakan ya kawan,, hehehe banyak)
Saya hanya bisa bersikap “geregetan” dan mood untuk bicara menantang pendapat si dosen sudah hilang. Tidak ada gunanya berbicara di depan orang yang tertutup mata hatinya dari menerima pendapat orang lain. Malam harinya, untuk mendapat keterangan yang valid saya langsung bertanya kepada beberapa senior LPM ARENA. Jawaban mereka semua sama sekarang ini tidak ada pembredelan. Untuk lebih meyakinkan saya bertanya lagi kepada Om Latief Noor Rahman wartawan Minggu Pagi (KR) dan Mas Addi Mawahibun Idhom seorang alumni Arena yang kini aktif di AJI dan jadi wartawan TEMPO. Jawaban mereka juga sama saat ini sudah tak ada pembredelan. Media yang terkena masalah pemberitaan kata mas Addi di wajibkan memuat hak jawab. Kalau media tidak mau memuat hak jawab Dewan Pers baru memberi hukuman. Tapi di zaman saat ini rasanya tak ada media yang mau mencoreng nama baiknya sendiri. Kalau ada kesalahan pasti akan ada verifikasi dan pemuatan hak jawab. Lebih lanjut, mas Addi mengatakan bahwa AJI dan PWI cuma organisasi profesi. Tak ada kewenangan untuk bredel-membredel. Semua pesan dari mereka masih saya simpan di inbox HP.
Saya menjadi yakin untuk terus belajar sendiri dengan membaca literatur pendukung. Kuliah tak cukup membaca buku mata kuliah saja. Proses belajar tentu akan lebih indah dengan autodidak, pikir saya saat ini. Sebenarnya bukan hanya mata kuliah ini yang seringkali saya temukan usaha-usaha peremangan pemikiran, mata kuliah yang lain pun ada.  Mahasiswa sejatinya harus punya benteng pengetahuan sendiri agar dapar berpikir kokoh dan tidak dapat terguncang gelombang peremangan pemikiran. Selamat belajar kawan, semoga tulisan ini bermanfaat dan kita senatiasa di lindungi oleh Tuhan.
Salam pagi di usia yang selalu pagi... hehehe (tersenyum)

Dini hari, 30 Maret 2013