Sepanjang
Malioboro
Malioboro menumpahkan kepulan
asap knalpot
Ketika pagi kehilangan usia
Berganti siang yang bising luar biasa
Orang-orang tergesa memburu nafas di
dada kota tua
Kendaraan mengejar bau aspal
Berlari, melesat bagai kilat
Kita menikmati
semangkok bakso
Lalu mengukur
nol kilometer
dan mengabadikan secarik foto
Malioboro, mengundang lebam rindu pada
kampung halaman
Yang lekat di antara sudut ingatan
Yogyakarta,
05 Januari 2013
Merindu
Tanah Kelahiran
Mulai
akrab keramaian kota
Seakan
aku lupa kemana tempat kembali paling teduh
tanpa
polusi dan debu
Hanya
wajah Ibu kiblat
abadi
tempat
kepulangan selalu tertunda
Sum-sum
tulangmu mungkin mulai membungkuk
Tanda
rindu yang tersimpan
mengering
Rambutmu pun nanti akan memutih
Seperti rinduku yang kian
terperangkap disini
Di
tanah setapak tempat Ibu menunggu
Dulu kelahian menyiarahi tubuh mungilku
Dan
kelak kematian menjemput ragaku
Kota
kecil yang teramat kecil
Tempat
rinduku sering meluap-luap mengalir
Kota
yang tak akan berlari meski kutinggal pergi
seribu
tahun lagi
Menantiku
kambali menziarahi
mimpi
Yogyakarta,13 Desember 2012
Madura-Yogya
Dari hulu pedesaan
Saat pagi masih sering menyajikan kicau
burung
Dari luka yang menggaris langkah
dari gerimis air mata
Lewat suramadu yang memanjangkan langkah
Bus melaju membawaku menuju Yogya
Tempat sajak terlahir, penyair
melelehkan keringat usaha
di hilir jalan-jalan panjang
“jangan pulang sebelum jadi penyair
beneran” pesan Ibu,
Menyisipkan madah do’a di balik bajuku
Yogyakarta,
2012
Kampungku
Bangau-bangau menjulurkan paruh ke ujung
cakrawala
Awan sirus menjadi petanda orang-orang
desa turun ke sawah
Kampungku, dimana pasir putih membingkai
jalanan
tempat
gelombang menciumi bibir pantai di tepian
Kampungku rahim nelayan
tempat bapak melahirkan ikan-ikan dari
keringat lautan
Sedang Ibu membuat rupiah dari hasil
pertanian
Kampungku, tempat orang-orang bermata
kesederhanaan
Mencipta kebenaran dari pitutur nenek
moyang
Rumahku, gubuk ilalang
menghangatkan tubuh waktu hujan
Menyapih keringat dari terik matahari
siang
Disini, matahari datang lebih awal
dan selalu terlambat pulang ke arah petang
Sedang rembulan tak jemu menemani
mengecap gelap malam bersama debur
gelombang
Kampungku Batang-Batang*
masa
kecilku memburu kerang di pantai Lombang*
Yogyakarta,
16 Januari 2013
*Batang-Batang
: Salah satu kecamatan di Sumenep, Madura
*Pantai
Lombang: Pantai di Batang-Batang
Lelaki Bertubuh Gelombang
Ototnya melipat-lipat tanda kuat, kulit
tubuh hitam mengkilat
Dilapisi debur gelombang; lebih gagah
dari elang
Hidup berkawan ombak, meminang lautan
jadi istri
Mengajar jaring supaya pandai merayu
ikan-ikan
Rumahnya beratap langit, tidur di biduk
kecil bernama sampan
Lelaki tua, menjadi penunggu lautan;
sudah berhari-hari tak pulang
Orang-orang memanggilnya nelayan
Saat siang, ia menjarah ikan. Tangannya
kekar bagai pedang
menghancurkan batu karang
Kadangkala topan datang, tapi maut
selalu takluk
kembali
pulang kedasar laut
Bila tiba saatnya pulang ke daratan,
ikan menyertai sambil berlagu
Menuju anak istri yang menunggu beserta
rindu
Yogyakarta,
21 Januari 2013
Batas
Jakarta dan Derita
Bila musim hujan
bertandang, petani-petani girang
Tapi warga
jakarta berang, sebab hujan adalah pertanda
banjir akan
segera datang
Batas jakarta
dan derita hanya pada tirus hujan
Yang sanggup
menenggelamkan gedung-gedungnya ke bawah alam
Jakarta akan tenggelam;
kabar di koran
Jakarta akan
mati; menanggung dosa-dosa ekologi
hasil investasi
racun polusi
Nyawa jadi
tumbal, ribuan orang mengungsi dan terisolasi
Anak-anak
menggantung angan di batas ruang
Ruang yang sudah
hanyut ke arah laut
Muarakarang melempar
gelap pemadaman hingga buta
Jakarta yang
gemulai dengan macet; saluran airnya kini mampet
Bundaran HI yang
tak pernah sepi
sunyi dan
patungnya menggigil di patuk kaki hujan
Kota
yang tak pernah tidur kini lelap berbantal senyap
Jakarta Ibu kota derita
Yogyakarta, 21 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar