Malam seperti ombak, membuatku terombang –ambing bagai di samudra luas. Tak ada bintang ataupun bulan di langit sana. Benar-benar sepi. Tangan-tangan kekar itu kembali mencengkram imajinasiku. Baru satu kedipan mata rasanya kegiatan OPTIMA dilaksanakan namun rasa rindu untuk mengulangnya sudah terasa menggerogoti kalbuku. Kenyataan bahwa aku harus kembali ke dunia kecilku semakin menyakitkan saja. Dunia kecil yang memaksaku selalu menyerah, mengalah dan terlihat lemah.
Saat ini seharusnya aku belajar karena bel Jam Belajar Pondok sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu karena meski UAN sudah berakhir tidak berarti aku bebas dari peraturan Pondok. Di depanku ada satu Novel, satu buku Ilmiah dan satu kamus Ilmiah populer, tetapi tak ada sedikitpun keinginanku untuk membacanya. Aku lebih suka memandanginya sementara imajinasiku jauh melambung pada kenangan saat OPTIMA.
Masihkah engkau ingat kawan, kisah kita seminggu yang lalu di OPTIMA. Ketika berkumpul bersama. Menghabisan waktu dengan belajar bersama. Makan, tidur dan mandi pun bersama. Masih kental dalam ingatanku ketika kita menyanyikan lagu OPTIMA sambil bertepuk tangan bersama. Masih jelas rasanya terdengar di telinga lantunan ayat-ayat suci ketia kita mengaji dan istoghasah. Terkadang aku seperti mendengar bunyi air mengalir seperti suasana di kali tempat kita biasa mandi bersama. Terkadang juga seperti ada bunyi hewan-hewan melata yang dengan setia menemani tidur kita tiap malam. Masih ingatkah engkau kawan, tangis, tawa, senyum, dan duka yang sempat tercecer dalam peristiwa itu……
Dan aku paling geregetan manakala mengingat bunyi “derrttt….derrtt..” dan ternyata….. (lalu kita saling pandang satu sama lain kemudian tertawa).
Masihkah engkau ingat kawan, tetesan-tetesan air mata pada malam pentas seni itu. Ketika pelukan kebersamaan rasanya tak ingin kita lepaskan.
Ingatkah engkau kawan terutama kru Teratai dan teman-teman lain yang ikut membantu. Ingatkah malam-malam yang memaksa kita untuk lembur. Sehingga membuat kita susah membedakan mana Bantal dan buku, mana kursi dan lantai, mana selimut dan kardus. Dan baru ingat jika badan sudah merasa sangat kedinginan.
Bagiku kenangan itu terlalu berarti untuk di lupakan, entahlah bagi kalian.
Tersenyumlah jika kalian masih mengingatnya
Menangislah jika seandainya kalian sudah melupakannya
Dunia Kecil, April 2010
Minggu, 13 Juni 2010
Selalu Ada Jalan Untuk Menulis
Hujan terus saja mengguyur, mengetuk-ngetuk pintu hatiku yang kedinginan. Ada sebersit perasaan kesal kenapa hujan tak juga reda. Padahal aku ingin segera berangkat ke Sawajarin-kompleks Madaris III Annuqayah- untuk mengikuti Diklat jurnalistik. Meski beberapa orang kawan menahanku untuk berangkat, namun dengan kemauan yang kuat, jadilah aku berangkat menggunakan payung yang ku pinjam dari seseorang. Aku bertekad menembus lebatnya hujan tak peduli sedingin apapun alam. Pokoknya aku harus mengikuti Diklat itu. Aku hanya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, aku hanya ingin membuktikan bahwa aku sungguh-sungguh serius untuk menjadi Penulis.
Sepanjang perjalanan aku terus membayangkan diriku menjadi penulis. Aku teringat perkataan Imam Al- Ghazali “ jika kamu bukan keturunan orang kaya (konglomerat) dan Ulama (darah biru), maka jadilah penulis “. Sepintas ungkapan itu seperti di tujukan untuk golongan menengah ke bawah. Ungkapan itu memang benar karena menulis hanya butuh modal kemauan, tak perlu uang ataupun jabatan penting. Kita akan dikenal orang dengan tulisan. Dan karena aku adalah orang yang miskin mungkin inilah jalanku, bergelut dengan tulis-menulis. Meski sesungguhnya semangat untuk menulis telah tumbuh sejak aku masih Mts, jauh sebelum aku mengenal kata-kata itu. Bagiku profesi menulis adalah profesi paling menyenangan sekaligus paling bebas. Bebas mengekspresikan apapun dan kapanpun. Dan akan mudah di kenali orang dengan tulisannya, buah tangannya sendiri, betapa tidak senang bukan. Dan akan sangat senang jika tulisan yang kita buat di minati banyak orang atau kita sedang sedang mood untuk menulis. Rasanya sulit di ungkapkan, tapi yang jelas bagiku masih lebih nikmat daripada Es krim rasa cokolate yang paling mahal sekalipun.
Seandainya boleh sedikit membandingkan, jika aku di tawari mau bertemu Artis terkenal apa Penulis terkenal, maka tak perlu panjang lebar, aku akan memilih bertemu Penulis terkenal, Afifah Afra –Penulis Favoritku-. Sebenarnya aku sama sekali tak mahir menulis, aku hanya mempunyai modal keinginan dan impian serta dorongan dari keluarga, guru, dan teman-teman. Tapi aku akan terus belajar, belajar, dan belajar. Entah sampai kapan. Aku bukan orang yang pemberani, bukan orang pinter dan cerdas namun ada ribuan kemauan yang mampu mengalahkan semua tolak ukur itu. Aku hanya ingin melanglang buana. Menikmati hidup yang hanya sekali ini dengan menulis meski aku tak sepenuhnya paham apa yang sebenarnya sedang aku cari.
Bersama Rafiqi Tanzil –salah satu wartawan Karimata FM- aku dan beberapa Kru Majalah Teratai serta teman-teman SMA 3 Annuqayah menghabiskan separuh hari kami untuk sejenak memasuki dunia tulis menulis. Dan berharap dapat memperoleh pencerahan setelahnya. Meski aku selalu merasa penaku masih tumpul, namun satu hal yang selalu aku ingat dan kuyakini bahwa Tuhan akan selalu membuka jalannya untuk menulis. Meski di tengah hujan lebat begini. Meski di tengah jalan yang di lalui penuh kerikil, terjal dan berliku.
Sebelum cerita ini aku tutup aku teringat kembali pada perkataan JK. Rowling –penulis novel Harry Potter- bahwa “aku akan menulis sekalipun belum tahu diterbitkan atau tidak”.
Dunia Kecil, Februari 2010
Sepanjang perjalanan aku terus membayangkan diriku menjadi penulis. Aku teringat perkataan Imam Al- Ghazali “ jika kamu bukan keturunan orang kaya (konglomerat) dan Ulama (darah biru), maka jadilah penulis “. Sepintas ungkapan itu seperti di tujukan untuk golongan menengah ke bawah. Ungkapan itu memang benar karena menulis hanya butuh modal kemauan, tak perlu uang ataupun jabatan penting. Kita akan dikenal orang dengan tulisan. Dan karena aku adalah orang yang miskin mungkin inilah jalanku, bergelut dengan tulis-menulis. Meski sesungguhnya semangat untuk menulis telah tumbuh sejak aku masih Mts, jauh sebelum aku mengenal kata-kata itu. Bagiku profesi menulis adalah profesi paling menyenangan sekaligus paling bebas. Bebas mengekspresikan apapun dan kapanpun. Dan akan mudah di kenali orang dengan tulisannya, buah tangannya sendiri, betapa tidak senang bukan. Dan akan sangat senang jika tulisan yang kita buat di minati banyak orang atau kita sedang sedang mood untuk menulis. Rasanya sulit di ungkapkan, tapi yang jelas bagiku masih lebih nikmat daripada Es krim rasa cokolate yang paling mahal sekalipun.
Seandainya boleh sedikit membandingkan, jika aku di tawari mau bertemu Artis terkenal apa Penulis terkenal, maka tak perlu panjang lebar, aku akan memilih bertemu Penulis terkenal, Afifah Afra –Penulis Favoritku-. Sebenarnya aku sama sekali tak mahir menulis, aku hanya mempunyai modal keinginan dan impian serta dorongan dari keluarga, guru, dan teman-teman. Tapi aku akan terus belajar, belajar, dan belajar. Entah sampai kapan. Aku bukan orang yang pemberani, bukan orang pinter dan cerdas namun ada ribuan kemauan yang mampu mengalahkan semua tolak ukur itu. Aku hanya ingin melanglang buana. Menikmati hidup yang hanya sekali ini dengan menulis meski aku tak sepenuhnya paham apa yang sebenarnya sedang aku cari.
Bersama Rafiqi Tanzil –salah satu wartawan Karimata FM- aku dan beberapa Kru Majalah Teratai serta teman-teman SMA 3 Annuqayah menghabiskan separuh hari kami untuk sejenak memasuki dunia tulis menulis. Dan berharap dapat memperoleh pencerahan setelahnya. Meski aku selalu merasa penaku masih tumpul, namun satu hal yang selalu aku ingat dan kuyakini bahwa Tuhan akan selalu membuka jalannya untuk menulis. Meski di tengah hujan lebat begini. Meski di tengah jalan yang di lalui penuh kerikil, terjal dan berliku.
Sebelum cerita ini aku tutup aku teringat kembali pada perkataan JK. Rowling –penulis novel Harry Potter- bahwa “aku akan menulis sekalipun belum tahu diterbitkan atau tidak”.
Dunia Kecil, Februari 2010
Magang Mengajar Santri Pra Pengabdian
Suasana sore yang biasanya di isi dengan santai dan canda tawa kini telah terenggut mesra. Selama satu minggu sejak sabtu (22/05/2010) sampai kamis (27/05/2010) santri kelas akhir pra pengabdian PPA. Nirmala putri yang sebentar lagi akan segera menjalani proses pengabdian kembali di godok dan di bekali berupa magang di TK Al wildan yang memang di kelola oleh PPA. Nirmala putri sendiri. Namun, meski cuma di kandang sendiri para peserta tetap sedikit deg-degan.
18 orang santri yang kini duduk di kelas akhir di bagi menjadi menjadi 6 kelompok di mana setiap kelompok terdiri dari 3 orang. Setiap harinya, selama satu minggu ke 6 kelompok itu di rolling untuk mengajar di 7 kelas yang di kelola TK Al Wildan. Antara lain TKA I, TKA II, TK B, TPAL, TQA I, TQA II, dan TQA III.
Magang itu di maksudkan sebagai salah satu upaya pelatihan, persiapan dan pemantapan bagi santri kelas akhir yang akan berangkat sebagai guru tugas agar nantinya tidak terkejut dan gelagapan di lapangan. Selain itu juga untuk menguji sejauh mana hasil yang dicapai sewaktu pembekalan kemarin. Serta untuk melatih kesabaran serta ketelatenan untuk menjadi pendidik sejati yang akan menjadi Agent of change pada pengabdian tahap selanjutnya.
"karena kami sudah di bekali cara-cara mengajar yang baik dan sesekali mengajar membantu ustadzah yang sedang berhalangan di TK Al Wildan jadi saya sedikit percaya diri walaupun tidak bisa di pungkiri ada juga rasa takut". Ungkap Siti Afifah salah satu Peserta Magang.
Tantangan paling berat yang sering di alami adalah menghadapi kepolosan anak-anak didik yng masih kecil. Menangis, bertengkar, dan tidak mau belajar. Hal itu sangat menguras kesabaran dan ketelatenan.
Magang pra pengabdian ini adalah satu jeda bagi kita semua untuk sejenak menengok ke belakang. Membuka kembali catatan-catatan yang mungkin penuh bercak dan noda. Sebagai satu slide untuk mengintropeksi diri. Sudahkah kita berarti bagi orang lain. Sudahkan kita membagi hidup kita untuk kepentingan ummat. Akhirnya marilah menjadi pengabdi sejati.
18 orang santri yang kini duduk di kelas akhir di bagi menjadi menjadi 6 kelompok di mana setiap kelompok terdiri dari 3 orang. Setiap harinya, selama satu minggu ke 6 kelompok itu di rolling untuk mengajar di 7 kelas yang di kelola TK Al Wildan. Antara lain TKA I, TKA II, TK B, TPAL, TQA I, TQA II, dan TQA III.
Magang itu di maksudkan sebagai salah satu upaya pelatihan, persiapan dan pemantapan bagi santri kelas akhir yang akan berangkat sebagai guru tugas agar nantinya tidak terkejut dan gelagapan di lapangan. Selain itu juga untuk menguji sejauh mana hasil yang dicapai sewaktu pembekalan kemarin. Serta untuk melatih kesabaran serta ketelatenan untuk menjadi pendidik sejati yang akan menjadi Agent of change pada pengabdian tahap selanjutnya.
"karena kami sudah di bekali cara-cara mengajar yang baik dan sesekali mengajar membantu ustadzah yang sedang berhalangan di TK Al Wildan jadi saya sedikit percaya diri walaupun tidak bisa di pungkiri ada juga rasa takut". Ungkap Siti Afifah salah satu Peserta Magang.
Tantangan paling berat yang sering di alami adalah menghadapi kepolosan anak-anak didik yng masih kecil. Menangis, bertengkar, dan tidak mau belajar. Hal itu sangat menguras kesabaran dan ketelatenan.
Magang pra pengabdian ini adalah satu jeda bagi kita semua untuk sejenak menengok ke belakang. Membuka kembali catatan-catatan yang mungkin penuh bercak dan noda. Sebagai satu slide untuk mengintropeksi diri. Sudahkah kita berarti bagi orang lain. Sudahkan kita membagi hidup kita untuk kepentingan ummat. Akhirnya marilah menjadi pengabdi sejati.
Selasa, 25 Mei 2010
Sepotong Cerita Tentang Malam
aku ingin bergegas
menemui malam yang sunyi
untuk sekedar berbagi tentang dukaku
aku berlari
melalui bukit
menyusuri semak-semak keangkuhan
yang membentangkan perbedaan
bintang sepertinya tak rela malamnya ku rengkuh
tapi aku pura-pura tak tahu
biarkan saja ia mengadu pada rembulan
Guluk-Guluk, Februari 2010
Puisi Hidup
Seandainya aku adalah bagian dari bintang-bintang yang berkedip-kedip dengan digdaya sepeti cahaya lilin yang dikelilingi perak-perak keemasan. Aku pasti bisa tersenyum dengan puas, dan tertawa dalam malam-malamku yang indah. Atau jika seandainya aku berkawan dengan angin. Aku jamin, aku akan bebas kemana saja. Menerpa dan membuai semua hal dalam berbagai keadaan.
Tapi sayangnya aku termasuk bagian dari manusia yang terkadang emosi, terkadang rendah hati dan terkadang bisa saja membanggakan diri. Aku bagian dari manusia-manusia tolol yang kehabisan nyali untuk muwujudkan mimpi. Walaupun begitu, aku tak berani menyesali semua ini karna aku tahu kalaupun aku menyesal Tuhan tidak mungkin merubah semuanya dengan secepat ini
Dan karena aku adalah bagian dari manusia maka berangan-angan dan bermimpi adalah hal yang paling menyenangkan, bahkan seandainya semua kenangan bisa terjadi dalam kenyataan aku mau bermimpi selamanya. Aku mau hidup dalam imajinasi yang indah agar semua yang aku harapkan bisa aku dapatkan dengan mudah. Tapi kenapa bermimpi hanya membuatku semakin gila.
Mungkin aku terlalu banyak menuntut kepada Tuhan. Aku menginginkan kebahagiaan, kedigdayaan, kekayaan, dan kesempurnaan, yang akhirnya hanya membawaku berangan-angan panjang dan tentu saja membingungkan. Tapi seperti yang tadi aku bilang kawan !, namanya juga manusia. Berangan-angan dan bermimpi tetap saja menjadi rutinitas yang paling mudah setiap hari, sekaligus paling menyiksa perasaan. Dan salah satu hal yang paling menyiksa adalah merenungi nasib dan kehidupanku.
Aku pernah mendengar bahwa kehidupan itu seperti operet dan sandiwara. Penuh kebohongan. Semuanya dibalut oleh topeng-topeng kemunafikan dan tentu saja selalu penuh imajinasi. Ah ! kenapa hidup tidak seperti bintang. Seorang teman juga pernah bilang. Hidup itu seperti lelucon, plesetan dan semacamnya yang tabu dan sama sekali tak ada habisnya dipertontonkan.
Setelah aku pikir-pikir hidup mungkin hidup itu laksana puisi. Iramanya adalah kesedihan dan kebahagiaan. Ritmenya pilu dan senyuman. Diksinya harapan dan kenyataan. Hidup adalah puisi paling fenomenal dimana penulisnya adalah Tuhan dan diciptakan dalam imajinasi besar yang tak seorangpun dapat memprediksikannya. Ia tertulis dalam lembaran-lembaran suci dengan tinta kebesaran-Nya yang tidak mungkin rusak sampai kapanpun. Puisi itu ditempatkan di singgasana tertinggi milikNya. Di Laukhul Makhfud sana. Dan Tuhan menciptakan sebagian dari puisi-Nya dengan kecerdasan dan keagungan. Tetapi mungkin saja aku adalah bagian dari manusia yang tidak di harapkan karena kebodohan yang terus bercokol dalam diriku.
Berkaitan dengan puisi yang tuhan gariskan sayangnya iramaku selalu saja sedih. Ritmeku tak pernah tersenyum. Dan diksi yang aku alami selalu terpaut pada kenyataan yang menyedihkan. Bahkan semua puisi hidupku bertaburan tak menentu. Tak ada yang berbaik hati mau menyimpan atau untuk sekedar membacanya. Karena mungkin saja tak ada yang istimewa dari puisi kehidupanku. Biarlah semuanya berjalan seperti apa yang telah tuhan tuliskan di sana. Dan semoga saja semuanya lebih baik dari apa yang aku bayangkan saat ini.
Batang-Batang, Oktober 2009
Tapi sayangnya aku termasuk bagian dari manusia yang terkadang emosi, terkadang rendah hati dan terkadang bisa saja membanggakan diri. Aku bagian dari manusia-manusia tolol yang kehabisan nyali untuk muwujudkan mimpi. Walaupun begitu, aku tak berani menyesali semua ini karna aku tahu kalaupun aku menyesal Tuhan tidak mungkin merubah semuanya dengan secepat ini
Dan karena aku adalah bagian dari manusia maka berangan-angan dan bermimpi adalah hal yang paling menyenangkan, bahkan seandainya semua kenangan bisa terjadi dalam kenyataan aku mau bermimpi selamanya. Aku mau hidup dalam imajinasi yang indah agar semua yang aku harapkan bisa aku dapatkan dengan mudah. Tapi kenapa bermimpi hanya membuatku semakin gila.
Mungkin aku terlalu banyak menuntut kepada Tuhan. Aku menginginkan kebahagiaan, kedigdayaan, kekayaan, dan kesempurnaan, yang akhirnya hanya membawaku berangan-angan panjang dan tentu saja membingungkan. Tapi seperti yang tadi aku bilang kawan !, namanya juga manusia. Berangan-angan dan bermimpi tetap saja menjadi rutinitas yang paling mudah setiap hari, sekaligus paling menyiksa perasaan. Dan salah satu hal yang paling menyiksa adalah merenungi nasib dan kehidupanku.
Aku pernah mendengar bahwa kehidupan itu seperti operet dan sandiwara. Penuh kebohongan. Semuanya dibalut oleh topeng-topeng kemunafikan dan tentu saja selalu penuh imajinasi. Ah ! kenapa hidup tidak seperti bintang. Seorang teman juga pernah bilang. Hidup itu seperti lelucon, plesetan dan semacamnya yang tabu dan sama sekali tak ada habisnya dipertontonkan.
Setelah aku pikir-pikir hidup mungkin hidup itu laksana puisi. Iramanya adalah kesedihan dan kebahagiaan. Ritmenya pilu dan senyuman. Diksinya harapan dan kenyataan. Hidup adalah puisi paling fenomenal dimana penulisnya adalah Tuhan dan diciptakan dalam imajinasi besar yang tak seorangpun dapat memprediksikannya. Ia tertulis dalam lembaran-lembaran suci dengan tinta kebesaran-Nya yang tidak mungkin rusak sampai kapanpun. Puisi itu ditempatkan di singgasana tertinggi milikNya. Di Laukhul Makhfud sana. Dan Tuhan menciptakan sebagian dari puisi-Nya dengan kecerdasan dan keagungan. Tetapi mungkin saja aku adalah bagian dari manusia yang tidak di harapkan karena kebodohan yang terus bercokol dalam diriku.
Berkaitan dengan puisi yang tuhan gariskan sayangnya iramaku selalu saja sedih. Ritmeku tak pernah tersenyum. Dan diksi yang aku alami selalu terpaut pada kenyataan yang menyedihkan. Bahkan semua puisi hidupku bertaburan tak menentu. Tak ada yang berbaik hati mau menyimpan atau untuk sekedar membacanya. Karena mungkin saja tak ada yang istimewa dari puisi kehidupanku. Biarlah semuanya berjalan seperti apa yang telah tuhan tuliskan di sana. Dan semoga saja semuanya lebih baik dari apa yang aku bayangkan saat ini.
Batang-Batang, Oktober 2009
Selasa, 23 Februari 2010
Kisah Sang Gula Merah
Hampir satu tahun yang lalu sewaktu aku masih kelas XI IPA SMA. Usai jam sekolah Eka –sebangkuku – dengan terburu–buru mencegat langkahku yang ingin pulang ke pondok untu memberikan secarik kertas kecil kepadaku. Kubuka pelan-pelan kertas itu, isinya adalah ajakan untuk bergabung dalam sebuah lomba proyek “ Konservasi Gula Merah “ bersama Ibu Mus’idah, Ummul Corn dan teman-teman yang lain. Sepanjang perjalanan pulang aku terus berfikir, entah apa ?. Aku berfikir semua yang berkaitan dengan yang namanya proyek. Keesokan harinya kita disuruh berkumpul. Barulah aku mengerti bahwa ini bukanlah proyek main-main. Bisa dilang proyek besar untuk ukurang orang sepertiku. Karena hasil dari proyek ini harus dapat dipertanggung jawabkan pada lomba School Climate Challenge (SCC). Seenarnya tak cuma tim gula merah –sebutan untuk tim kami- yang perlombaan ini. Ada tiga tim dari sekolahku. Tim sampah plastik yang dibimbing oleh K. Mushthafa S.fil. Tim pupuk jerami yang dibimbing oleh bapak Mahmudi S.sos dan Ibu Bekti utami S.t dan Tim kami sendiri yaitu gula merah yang dibiming oleh Bapak Syaiful S.ag dan Ibu Mus’idah Amin S.pdi.
Yang membuatku tertarik waktu itu dan tetap berkesan sampai saat ini bukan lantaran perlombaannya. Melainkan indahnya perjuangan dan kebersamaan yang sangat indah. Penguatan kapasitas, pendalaman, sosialisasi, riset data sampai pembuatan laporan sambil sesekali nonton bareng dan makan bersama bagiku seperti sebaris puisi. Dengan mereka aku mengenal perjuangan, semangat persahabatan dan yang paling penting tentang wawasan lingkungan. Kebetulan aku berasal dari daerah penghasil gula merah. Kecamatan Dungkek dan bagian timur Kecamatan Batang-Batang. Di desaku setiap kepala keluarga bisa memiliki 10-11 batang pohon Siwalan –pohon penghasil air nira- yang setiap batangnya bisa diambil air niranya setiap hari. Namun di tengah polemik zaman yang sudah makin renta ini potensi-potensi lokal seperti gula merah sudah seperti tamu tak dihargai. Keberadaannya hanya dimanfaatan untuk hal-hal kecil saja. Padahal berpotensi menghasilkan sesuatu yang besar seandainya di kelola dengan lebih kreatif dan variatif.
Pekerjaan mengolah gula merah adalah pekerjaan yang sederhana dan unik tapi membutuhkan kesabaran yang tinggi. Pekerjaan yang melibatkan seluruh komponen keluarga, jadi terkesan harmonis dan kompak. Pagi hari atau sore hari –tergantung kebiasaan mengambilnya- seorang laki-laki biasanya kepala keluarga dengan berbekal tali dari lilitan ban bekas (baca : salampar), dan sebuah anyaman dari daun siwalan (baca : timba) dengan gagah dan cekatan menaiki pohon siwalan yang tingginya bisa mencapai m. Dirumah si Ibu mencari kayu bakar dan menyiapakan alat-alat memasak seperti panci ukuran jumbo dan ulekan yang juga terbuat dari batang daun siwalan. Setelah si apak turun dari phon siwalan dengan air niranya si Ibu menyambutnya lalu dengan di temani asap yang mengepul si Ibu memasak sekitar lima jam kalau air niranya banyak sampai sap di cetak. Seorang anak biasanya membantu menyiaoakan cetakan menjualnya kepada pengepul –juragan gula merah-. Dan yang tidak oleh terlupakan adalah campuran Laro –tumbukan daun jamu minte dan irisan batangnya agar kualitas gula lebih bagus.
Yang menjadi masalah, selama ini aku melihat hasil yang di peroleh oleh pengolah gula merah ternyata tak mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Tentu saja itu tidak sebanding dengan perjuangan mereka. Karena pekerjaan mengolah gula merah bukanlah pekerjaan yang mudah. Mulai dari mengambil air nira sampai memasaknya butuh mental yang kuat dan kesabaran yang tinggi.
Aku dan teman Tim Gula Merahbermimpi dan berharap dapat memberi solusi kepada mereka, menunjukkan jalan yang lebih luas dan membuka mata mereka lebar-lebar akan potensi lokal –gula merah- agar mereka dapat meningkatkan kualitasnya dan lebih kreatif, variatif dan inovatif dalam mengolahnya. Sehingga gula merah lebih dihargai dan dimanfaatkan lebih baik. Sehingga dapat mengangkat keadaan ekonomi mereka yang terpuruk. Supaya kemiskinan dan kemelaratan yang sering menghantui dapat sedikit teratasi dengan potensi lokal yang mereka miliki sendiri. Sekaligus sebagai ucapan rasa syukur terhadap karunia tuhan burupa ciptaannya yang berguna dan bermanfaat. Serta sebagai salah satu upaya penyelamatan alam agar pohon siwalan tetap bertahan di tengah maraknya penebangan-penebangan liar yang dapat menyebabkan penggundulan dan erosi tanah. Sehingga bencana alam yang sering bertamu ke bumi dapat kita atasi. Dan setidaknya dapat menjadi pendingin panasnya arus global warming yang sudah menyerang belahan dunia selama ini.
Jika manyarakat mulai berfikir bahwa potensi pohon siwalan semakin meningkat maka mereka akan berlomba-lomba menanam dan memeliharanya sehingga dapat menghambat longsor dan penggundulan. Sebaliknya jika mereka berfikir pohon siwalan tidak lagi memiliki potensi optimal maka mereka dengan acuh tak acuh akan mulai menjauhinya, menjualnya dan menebangnya untuk bangunan dan tidak menanamnya kembali. Dan mulai mencari pekerjaan lain yang lebih cepat menghasilkan uang dan itu akan menyebabkan pohon siwalan tidak akan lestari lagi. Oleh karena itu marilah bersama-sama bergandeng tangan berjuang menyelamatkan alam.
Yang membuatku tertarik waktu itu dan tetap berkesan sampai saat ini bukan lantaran perlombaannya. Melainkan indahnya perjuangan dan kebersamaan yang sangat indah. Penguatan kapasitas, pendalaman, sosialisasi, riset data sampai pembuatan laporan sambil sesekali nonton bareng dan makan bersama bagiku seperti sebaris puisi. Dengan mereka aku mengenal perjuangan, semangat persahabatan dan yang paling penting tentang wawasan lingkungan. Kebetulan aku berasal dari daerah penghasil gula merah. Kecamatan Dungkek dan bagian timur Kecamatan Batang-Batang. Di desaku setiap kepala keluarga bisa memiliki 10-11 batang pohon Siwalan –pohon penghasil air nira- yang setiap batangnya bisa diambil air niranya setiap hari. Namun di tengah polemik zaman yang sudah makin renta ini potensi-potensi lokal seperti gula merah sudah seperti tamu tak dihargai. Keberadaannya hanya dimanfaatan untuk hal-hal kecil saja. Padahal berpotensi menghasilkan sesuatu yang besar seandainya di kelola dengan lebih kreatif dan variatif.
Pekerjaan mengolah gula merah adalah pekerjaan yang sederhana dan unik tapi membutuhkan kesabaran yang tinggi. Pekerjaan yang melibatkan seluruh komponen keluarga, jadi terkesan harmonis dan kompak. Pagi hari atau sore hari –tergantung kebiasaan mengambilnya- seorang laki-laki biasanya kepala keluarga dengan berbekal tali dari lilitan ban bekas (baca : salampar), dan sebuah anyaman dari daun siwalan (baca : timba) dengan gagah dan cekatan menaiki pohon siwalan yang tingginya bisa mencapai m. Dirumah si Ibu mencari kayu bakar dan menyiapakan alat-alat memasak seperti panci ukuran jumbo dan ulekan yang juga terbuat dari batang daun siwalan. Setelah si apak turun dari phon siwalan dengan air niranya si Ibu menyambutnya lalu dengan di temani asap yang mengepul si Ibu memasak sekitar lima jam kalau air niranya banyak sampai sap di cetak. Seorang anak biasanya membantu menyiaoakan cetakan menjualnya kepada pengepul –juragan gula merah-. Dan yang tidak oleh terlupakan adalah campuran Laro –tumbukan daun jamu minte dan irisan batangnya agar kualitas gula lebih bagus.
Yang menjadi masalah, selama ini aku melihat hasil yang di peroleh oleh pengolah gula merah ternyata tak mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Tentu saja itu tidak sebanding dengan perjuangan mereka. Karena pekerjaan mengolah gula merah bukanlah pekerjaan yang mudah. Mulai dari mengambil air nira sampai memasaknya butuh mental yang kuat dan kesabaran yang tinggi.
Aku dan teman Tim Gula Merahbermimpi dan berharap dapat memberi solusi kepada mereka, menunjukkan jalan yang lebih luas dan membuka mata mereka lebar-lebar akan potensi lokal –gula merah- agar mereka dapat meningkatkan kualitasnya dan lebih kreatif, variatif dan inovatif dalam mengolahnya. Sehingga gula merah lebih dihargai dan dimanfaatkan lebih baik. Sehingga dapat mengangkat keadaan ekonomi mereka yang terpuruk. Supaya kemiskinan dan kemelaratan yang sering menghantui dapat sedikit teratasi dengan potensi lokal yang mereka miliki sendiri. Sekaligus sebagai ucapan rasa syukur terhadap karunia tuhan burupa ciptaannya yang berguna dan bermanfaat. Serta sebagai salah satu upaya penyelamatan alam agar pohon siwalan tetap bertahan di tengah maraknya penebangan-penebangan liar yang dapat menyebabkan penggundulan dan erosi tanah. Sehingga bencana alam yang sering bertamu ke bumi dapat kita atasi. Dan setidaknya dapat menjadi pendingin panasnya arus global warming yang sudah menyerang belahan dunia selama ini.
Jika manyarakat mulai berfikir bahwa potensi pohon siwalan semakin meningkat maka mereka akan berlomba-lomba menanam dan memeliharanya sehingga dapat menghambat longsor dan penggundulan. Sebaliknya jika mereka berfikir pohon siwalan tidak lagi memiliki potensi optimal maka mereka dengan acuh tak acuh akan mulai menjauhinya, menjualnya dan menebangnya untuk bangunan dan tidak menanamnya kembali. Dan mulai mencari pekerjaan lain yang lebih cepat menghasilkan uang dan itu akan menyebabkan pohon siwalan tidak akan lestari lagi. Oleh karena itu marilah bersama-sama bergandeng tangan berjuang menyelamatkan alam.
Minggu, 07 Februari 2010
SELAMAT PAGI INDONESIA
Selamat pagi Indonesia !
Kenapa wajahmu terlihat murung
Kenapa tubuhmu terlihatnya renta tak berdaya
Adakah kau bosan hidup didunia
Ataukah sudah muak dengan berbagai ambisi pemimpinmu
Tak perlu risau
Memikirkan tikus-tikus berdasi itu
Tak perlu dibuat pusing masalah Century
Karna pada kenyataannya
Mereka yang mengaku benar
Ataupun mereka yang dianggap bersalah
Tak jua keluar dari persembunyian mereka
Mereka lebih memilih bungkam
Dibalik kekayaan yang mereka tumpuk dari KKN mereka
Bangunlah !
Tengoklah ke sana
Mereka yang berkeliaran di jalanan
Meringkuk dibawah jembatan
Dan mereka yang dipermainkan gelombang kemiskinan
Bangunlah !
Benahi jati diri dan nasib rakyatmu
Daripada hanya bermain petak umpet
Dengan pejabat-pejabat culasmu
Kenapa wajahmu terlihat murung
Kenapa tubuhmu terlihatnya renta tak berdaya
Adakah kau bosan hidup didunia
Ataukah sudah muak dengan berbagai ambisi pemimpinmu
Tak perlu risau
Memikirkan tikus-tikus berdasi itu
Tak perlu dibuat pusing masalah Century
Karna pada kenyataannya
Mereka yang mengaku benar
Ataupun mereka yang dianggap bersalah
Tak jua keluar dari persembunyian mereka
Mereka lebih memilih bungkam
Dibalik kekayaan yang mereka tumpuk dari KKN mereka
Bangunlah !
Tengoklah ke sana
Mereka yang berkeliaran di jalanan
Meringkuk dibawah jembatan
Dan mereka yang dipermainkan gelombang kemiskinan
Bangunlah !
Benahi jati diri dan nasib rakyatmu
Daripada hanya bermain petak umpet
Dengan pejabat-pejabat culasmu
Langganan:
Postingan (Atom)